You are currently viewing FGD Mendorong Isu Lingkungan Dan Kebencanaan Ke Dalam Kegiatan Pembangunan Daerah

FGD Mendorong Isu Lingkungan Dan Kebencanaan Ke Dalam Kegiatan Pembangunan Daerah

Oleh: Fariz Panghegar, Traction Energy Asia

Sebagai negara kepulauan yang terletak dalam jaringan lingkar gunung api (ring of fire), Indonesia memiliki potensi tanah yang subur dan sumber daya alam yang melimpah. Namun, potensi tersebut diiringi dengan ancaman bencana alam dan bencana lingkungan yang dapat melumpuhkan potensi dan daya saing daerah jika arah perencanaan pembangunan yang tidak memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Traction Energy Asia berupaya merangkum kondisi kelestarian lingkungan, kebencanaan lingkungan, dan permasalahan jalannya program pembangunan di daerah tersebut dalam kegiatan focus group discussion (FGD) di daerah Riau, Kalimantan Barat, Gorontalo dan Sulawesi Tengah.

FGD ini merupakan bagian rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Traction Energy Asia untuk mendorong perencanaan pembangunan daerah yang berbasis lingkungan dan tanggap bencana lingkungan. Kegiatan tersebut dihadiri oleh perwakilan masyarakat sipil, akademisi, jurnalis, ahli isu lingkungan dan kebencanaan, kelompok pengusaha, serta perwakilan pemerintah pusat dan daerah. Masukan dan saran dari para peserta FGD menjadi rujukan untuk kegiatan berikutnya, yaitu seminar, bimbingan teknis, dan coaching clinic, untuk mendampingi kabupaten/kota menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) berbasis lingkungan dan tanggap bencana lingkungan. Kegiatan FGD dilakukan secara daring sebanyak tiga kali, yakni pada 4 November 2020 untuk Provinsi Sulawesi Tengah, serta 5 November 2020 pagi untuk Provinsi Riau dan siang untuk Provinsi Kalimantan Barat dan Gorontalo.

FGD dibuka dengan paparan pemantik dari ahli lingkungan M. Saefudin dan dari Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Joko Tri Haryanto. Dalam pemaparannya, Saefudin menyampaikan pentingnya menjaga kesetimbangan antara orientasi pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan warga, upaya menjaga daya dukung, dan daya tampung lingkungan. Orientasi pembangunan daerah tidak memperhatikan kelestarian lingkungan akan berujung pada kerusakan lingkungan dan menempatkan warga pada posisi rentan terkena bencana lingkungan. Sementara di sisi lain, Joko Tri Haryanto menyampaikan pemaparan tentang Green Budget Tagging untuk mengukur kualitas program pembangunan daerah dan penganggaran yang berbasis kelestarian lingkungan. Aspek kualitas yang diukur adalah tingkat keberlanjutan lingkungan dalam program pembangunan dan efektivitas penganggaran. Dengan itu, daerah tidak terjebak pada kuantitas program dan presentase penganggaran, melainkan pada aspek kualitas program dan efektifitas anggaran (value for money).

Menurut para peserta FGD di empat provinsi, terdapat lima permasalahan lingkungan dan kebencanaan lingkungan yang dihadapi oleh masyarakat kabupaten/kota di Provinsi Riau Kalimantan Barat, Gorontalo dan Sulawesi Tengah.  Pertama, masalah eksploitasi sumber daya lahan dan tambang yang lebih berorientasi pada keuntungan ekonomi, serta tidak memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Hal ini ditandai dengan perubahan Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) yang berimbas pada alih fungsi lahan secara besar-besaran.

Foto FGD Wilayah Provinsi Sulawesi Tengah

Kedua, tingginya laju deforestasi hutan yang diiringi dengan alih fungsi hutan untuk alokasi penggunaan lainnya, terutama peralihan ke lahan perkebunan sawit dan lahan pertanian. Laju deforestasi berbeda-beda antar-provinsinya. Hasil penelitian yang dipublikasikan oleh Dinas Kehutanan Pemda Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa laju deforestasi antar-kabupaten/kota yang memiliki kawasan hutan berkisar antara 0,4% sampai dengan 2,6% per tahun dari total kawasan hutan yang ada. Selama kurun waktu 5 tahun terakhir di Sulawesi Tengah, telah terjadi deforestasi 118 ribu hektar lebih. Sementara itu, Kalimantan Barat mengalami 260 ribu hektar lebih, Riau sebesar 420 ribu hektar lebih, serta Provinsi Gorontalo sebesar 18 ribu hektar lebih.

Ketiga, rusaknya sumber daya air di daerah. Hal ini diindikasikan dengan rusaknya ekosistem daerah Aliran Sungai (DAS) di daerah hulu, tengah, maupun hilir. Kerusakan ekosistem DAS ini salah satu tandanya adalah terciptanya lahan kritis di daerah aliran sungai. Berdasarkan data dari BPDAS-KLHK tahun 2019, luas lahan kritis di wilayah Provinsi Gorontalo sebesar 332.091 hektar atau 28% dari total luas daratannya, Provinsi Kalimantan Barat seluas 1.015.099 hektar lahan kritis atau 7% dari luas daratannya, Provinsi Sulawesi Tengah sebesar  264.424 hektar lahan kritis atau 4% dari luas daratannya, hingga Provinsi Riau seluas 706.167 hektar lahan kritis atau 8% dari luas daratannya. Selain kerusakan DAS, kualitas sungai juga menurun karena aktivitas pembuangan limbah dan sampah baik dari aktivitas rumah tangga dan bisnis ke sungai yang mendorong terjadinya penurunan kualitas air secara fisika, kimia, maupun biologi.

Foto FGD Wilayah Provinsi Gorontalo dan Kalimantan Barat

Keempat, adanya permasalahan kelembagaan, dan sumber daya manusia. Menurut para peserta FGD, hal ini terlihat dari kurangnya sinergi antar Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang memiliki mandat pengelolaan lingkungan hidup dan kebencanaan. Kondisi tersebut diperparah dengan kurangnya kepedulian pemimpin daerah terhadap isu-isu lingkungan hidup dan kebencanaan. Sampai saat ini, masih terdapat kabupaten-kabupaten di Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo yang belum memiliki Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Hal tersebut berpengaruh pada minimnya upaya pengurangan risiko bencana. Para peserta FGD juga menyampaikan belum semua Kabupaten/Kota memiliki dokumen Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), dokumen Kajian Risiko Bencana (KRB), dokumen Rencana Aksi Daerah Penanggulangan Bencana (RAD-PB), dan dokumen Rencana Kontingensi Daerah dalam penanggulangan bencana yang dapat menjadi referensi penting dalam penyusunan perencanaan pembangunan daerah.

Kelima, adanya permasalahan kebijakan yang meliputi perencanaan yang parsial, lemahnya sinergi antar instansi di daerah dan antara pemerintah pusat, rendahnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan, serta kurangnya ketegasan dalam penyusunan dan implementasi RTRW yang memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Para peserta FGD menyampaikan lima masalah tersebut membuat pemerintah daerah tidak bisa mengantisipasi jika bencana lingkungan terjadi. Potensi bencana tersebut dirangkum pada tabel berikut:

Tabel Potensi Bencana Lingkungan Di 4 Provinsi

NO GORONTALO KALIMANTAN BARAT SULAWESI TENGAH RIAU
1. Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran Hutan dan Lahan
2. Banjir Genangan Banjir Genangan Banjir Genangan Banjir Genangan
3. Banjir Bandang Banjir Bandang Banjir bandang Abrasi
4. Tanah Longsor Tanah Longsor Tanah Longsor KLB
5. Abrasi Abrasi Abrasi Konflik Sosial
6. Gempa Bumi Gempa Bumi Liquifaksi
7. Tsunami Tsunami Gempa Bumi
8. KLB Konflik Sosial Tsunami
9. Konflik Sosial Konflik Sosial
10. Kekeringan

Sumber: Data Informasi Bencana Indonesia http://dibi.bnpb.go.id, 2020. & Hasil FGD

Dalam sesi FGD untuk wilayah Provinsi Riau, Bappedalitbang Provinsi Riau mengkonfirmasi adanya masalah lingkungan di wilayah Provinsi Riau berupa lahan kritis seluas kurang lebih 701.000 hektare. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Pemerintah Provinsi Riau berkomitmen untuk melakukan pembangunan berbasis kelestarian lingkungan hidup dan ketahanan bencana. Hal tersebut dapat dilihat pada RPJMD Provinsi Riau yang telah mengusung tema utama Riau Hijau. Tujuan Pembangunan Dalam RPJMD Provinsi Riau  Tahun 2019-2024 adalah Mewujudkan pembangunan yang  berwawasan lingkungan (RIAU HIJAU). Indikator yang terkait dengan aspek lingkungan antara lain adalah:

  1. Indikator Penurunan efek Gas Rumah Kaca. 204,61 Juta Ton CO2 ekuivalen (Proyeksi Emisi BaU Tahun 2020 = 408.551 juta ton CO2 eq).
  2. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) Provinsi Riau Pada Tahun 2018 sebesar 68,64 dan pada tahun 2020 sebesar 71,94.
  3. Emisi gas rumah kaca pada tahun 2018 sebanyak 396.651 Giga grams CO2 ekuivalen dan pada tahun 2020 sebesar 71,96 Giga grams CO

Foto FGD Wilayah Provinsi Riau

Perencanaan pada pemerintah provinsi membutuhkan dukungan dari perencanaan di kabupaten dan kota di wilayah Provinsi Riau, serta partisipasi dari masyarakat. Sinergi dan kolaborasi antara pemerintah, kelompok pengusaha, serta masyarakat berperan penting dalam menjaga arah pembangunan agar memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Kemudian, menurut Ketua  Umum Majelis Kerapatan Adat, Lembaga Adat Riau Al Azhar, orientasi pembangunan berkelanjutan harus ditanamkan dalam pola pikir masyarakat sejak usia dini melalui institusi pendidikan dan kebudayaan agar nilai tersebut terbawa sampai mereka dewasa ketika menjadi pengambil kebijakan, pengusaha, dan pemangku kepentingan lainnya. Jika di masa lalu pendidikan budaya mengarah pada ekspresi budaya, maka sekarang perlu ditekankan tentang perluasan nilai harmoni dan keselarasan antara manusia dan makhluk hidup lainnya dalam kurikulum pendidikan dan kebudayaan.

  1. Menjaga  Kesetimbangan  Sumber Daya  Alam  untuk Mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Kabupaten/Kota di Provinsi  Gorontalo dan Provinsi Kalimantan Barat
  2. Menjaga  Kesetimbangan  Sumber Daya  Alam  untuk Mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Kabupaten/Kota di Provinsi Riau
  3. Menjaga  Kesetimbangan  Sumber Daya  Alam untuk Mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tengah
  4. Paparan Green Budget Tagging dalam Perencanaan Pembangunan Daerah.

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan