TRACTION ENERGY ASIA

MENGUBAH MASA DEPAN ENERGI ASIA​

APA YANG MENDORONG KAMI?

Kami membayangkan masa depan di mana pemerintah, sektor bisnis, dan masyarakat menangani perubahan iklim dengan ambisius dan komitmen tinggi. Sebagai salah satu penghasil emisi karbon terbesar di dunia dan berpengaruh di komunitas global, kami percaya bahwa Indonesia dapat dan harus mengupayakan lebih banyak hal demi mengurangi ancaman perubahan iklim. Kami berkomitmen untuk menyingkirkan berbagai hambatan yang menghalangi jalan Indonesia menuju masa depan yang rendah karbon.

SOLUSI KAMI

Kami mengadvokasi, mempromosikan, serta menyediakan solusi inovatif bagi pemerintah, komunitas bisnis, dan masyarakat untuk menyelaraskan kepentingan mereka untuk mengatasi perubahan iklim sesuai urgensinya.

TRACTION ENERGY ASIA

LIPUTAN MEDIA TERBARU

Optimalkan Rantai Pasok Biodiesel dengan Melibatkan Petani Kelapa Sawit Swadaya

Foto udara kelapa sawit di Banting, Selangor, Malaysia. Foto oleh Ihsan Adityawarman di Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/fotografi-udara-pohon-1643371/Ihsan Adityawarman

Pada 2023, luas perkebunan rakyat kelapa sawit mencapai 6.300.426 hektare atau 37% dari total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia, menurut laporan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian. Luas perkebunan kelapa sawit rakyat tersebut digarap oleh pekebun sebanyak 2.605.207 KK.

Jumlah petani kelapa sawit yang banyak, kerap menjadi alasan pemerintah dalam memutuskan sebuah kebijakan. Tak terkecuali kebijakan biodiesel. Kebijakan energi berupa penggunaan bahan bakar nabati (BBN) berbasis kelapa sawit tersebut diklaim dapat untungkan petani.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020 – 2024, pengembangan biodiesel berbasis kelapa sawit menjadi salah satu proyek strategis nasional.

Penetapan program energi terbarukan berbasis kelapa sawit ditujukan untuk mendukung peningkatan porsi energi baru terbarukan dalam bauran energi primer nasional menuju 23% pada tahun 2025.

Mengapa Kebijakan Biodiesel Diterapkan?

Nozzle Pompa Bensin Mengisi Mobil Putih oleh. Foto oleh Engin Akyurt di Pexels: https://www.pexels.com/photo/gas-pump-nozzle-filling-the-white-car-12377482/

Kebijakan biodiesel diterapkan karena tiga alasan. Pertama, pemerintah berupaya untuk melepas ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Tujuannya adalah untuk memangkas emisi gas karbon pada sektor energi, khususnya sektor transportasi.

Dalam kerangka Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC), kebijakan biodiesel menjadi salah satu program aksi mitigasi yang strategis untuk memangkas emisi pada sektor tersebut.

Kedua, implementasi kebijakan biodiesel juga upaya pemerintah untuk mengurangi impor Bahan Bakar Minyak (BBM), dengan cara menggunakan bahan baku dari dalam negeri.

Kelapa sawit menjadi pilihan karena Indonesia merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia dan kualitasnya sesuai dengan standar bahan bakar. Subtitusi sebagian minyak solar dengan kelapa sawit akan mengurangi impor BBM. Dan harapannya dapat berdampak pada defisit neraca perdagangan minyak dan gas.

Ketiga, penerapan kebijakan biodiesel juga bertujuan untuk menciptakan permintaan domestik. Melalui inilah petani kelapa sawit diklaim akan diuntungkan karena kebijakan biodiesel menciptakan pasar baru untuk Tandan Buah Segar (TBS) hasil dari perkebunan petani kelapa sawit.

Realita Petani Kelapa Sawit Swadaya

Buah kelapa sawit setelah panen di sebuah perkebunan rakyat di Pulau Kalimantan. Foto oleh RMX IMG di Shutterstock: https://www.shutterstock.com/image-photo/oil-palm-fruit-after-harvest-smallholder-2315357805

Sekilas, kebijakan biodiesel terlihat akan menguntungkan petani kelapa sawit. Padahal, kalau dilihat lebih dalam, petani kelapa sawit dan biodiesel memiliki jarak yang jauh dalam pengertian rantai pasoknya. Sehingga, untung tidaknya kebijakan biodiesel terhadap petani kelapa sawit belum dapat dipastikan.

Selama ini, pemerintah hanya mengalokasikan volume biodiesel untuk Badan Usaha BBN (BU BBN) dan BU BBM. Terakhir, pada 28 Desember 2022, pemerintah menerapkan kebijakan blending rate 35% biodiesel terhadap 65% minyak solar atau yang lebih dikenal dengan kebijakan biodiesel B35.

Dalam kebijakan B35, pemerintah memberikan alokasi sebesar 13.148.594 kilo liter (kL) biodiesel untuk periode Februari 2023 sampai dengan Desember 2023. Terdapat 21 BU BBN yang mendapat alokasi biodiesel, termasuk PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Musim Mas, dan PT Sinarmas Bioenergi. Sementara jumlah BU BBM sebanyak 22 perusahaan, termasuk PT Pertamina Patra Niaga, PT Kilang Pertamina Internasional, dan PT AKR Corporindo.

Penerapan kebijakan biodiesel didukung oleh pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). BPDPKS menghimpun dana dari pungutan ekspor kelapa sawit dan produk turunannya. 

Logo Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

Pada tahun 2022, realisasi penggunaan dana tersebut mencapai Rp 36,16 triliun, 96% dari dana tersebut digunakan untuk membayar selisih harga biodiesel dengan minyak solar.

Dana triliunan tersebut tidak dapat memastikan petani kelapa sawit mana yang telah menjadi pemasok TBS dalam rantai pasok produksi biodiesel.

Secara umum, terdapat dua jenis petani kelapa sawit di Indonesia, yakni petani kelapa sawit plasma dan petani kelapa sawit mandiri. Bila merujuk pada istilah petani tersebut, maka petani plasma sudah pasti masuk dalam rantai pasok biodiesel, tergantung perusahaan mana yang menjadi supplier dalam rantai pasok biodiesel. Karena kebun dan hasil petani kelapa sawit plasma dikelola oleh perusahaan sebagai perkebunan inti.

Petani kelapa sawit yang belum tentu masuk dalam rantai pasok biodiesel adalah petani kelapa sawit swadaya. Banyak dari mereka yang kesulitan mengakses pasar.

Kebanyakan petani kelapa sawit swadaya, menjual TBSnya ke tengkulak. Sehingga, harga yang didapatkan pun lebih rendah daripada harga yang ditetapkan dari Pabrik Kelapa Sawit (PKS) langsung.

Foto udara hamparan perkebunan kelapa sawit. Foto oleh Nazarizal Mohammad di Unsplash: https://unsplash.com/photos/RmwNno4cpZ0

Pengadaan bahan baku untuk biodiesel selama ini dikuasai oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Perusahaan perkebunan tersebut terintegrasi secara vertikal dengan perusahaan BU BBN.

Disebutkan dalam laporan Raksasa Penerima Subsidi, bahwa perusahaan BU BBN yang mendapatkan alokasi biodiesel bila di agregasikan dalam sebuah kelompok korporasi, maka hanya ada 9 kelompok saja. Dan seluruh kelompok korporasi tersebut juga memiliki perkebunan.

Petani sawit swadaya, umumnya adalah masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari perkebunan sawit. Pendapatan mereka bergantung dari tinggi rendahnya harga TBS yang mereka jual.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, pada tahun 2022 terdapat 2.605.207 KK di perkebunan rakyat kelapa sawit. Banyak keluarga yang menggantungkan hidupnya pada kebun tersebut.

Mengapa Melibatkan Petani Kelapa Sawit Swadaya?

Ilustrasi Kelapa Sawit Foto: Syifa Yulinnas/Antara

Kebijakan biodiesel dapat menjadi instrumen yang efektif dalam memastikan harga untuk para petani kelapa sawit swadaya. Pelibatan mereka dalam rantai pasok biodiesel akan memberikan dampak luar biasa, tidak hanya untuk kesejahteraan petani sendiri, tetapi juga keluarga yang dinaunginya.

Menurut penelitian Traction Energy Asia, penerapan kebijakan penempatan petani kelapa sawit swadaya dalam tata niaga biodiesel dengan fokus pada upaya intensifikasi lahan dan peningkatan kapasitas pengelolaan lahan oleh petani kelapa sawit swadaya dapat memperbaiki kelayakan hidup petani tersebut sekaligus berkontribusi pada upaya penurunan emisi gas rumah kaca.

Pelibatan petani kelapa sawit swadaya juga akan meminimalisir risiko deforestasi dari perkebunan kelapa sawit. Dari sekitar 2,9 juta hektare perkebunan kelapa sawit yang dibangun dari hutan alam sejak 2001 hingga 2021, hanya 25% yang pelakunya merupakan petani kelapa sawit swadaya.

Upaya pemerintah untuk mensejahterakan petani kelapa sawit swadaya melalui kebijakan biodiesel saat ini, patut diapresiasi. Namun, harus ada strategi agar upaya tersebut dapat terasa jelas oleh petani kelapa sawit swadaya.

Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk memprioritaskan petani kelapa sawit swadaya dalam rantai pasok biodiesel daripada perusahaan.

Prioritas ini dapat diikat dengan kerja sama atau kemitraan antara BU BBM dan kelompok petani kelapa sawit swadaya atau BU BBN dengan kelompok petani kelapa sawit swadaya.Bentuk lainnya juga dapat digunakan, asal petani dapat menjadi pemasok langsung TBS PKS yang menjadi pemasok pabrik biodiesel.

Sebagai ilustrasi, BU BBM seperti PT Pertamina Patra Niaga akan memasok biodiesel dari suatu BU BBN untuk memproduksi biodiesel, perusahaan BU BBN akan membutuhkan bahan baku berupa minyak kelapa sawit, minyak kelapa sawit tersebut berasal dari sebuah PKS, dengan adanya mandat memprioritaskan TBS dari petani kelapa sawit swadaya-bukan pengepul atau tengkulak, maka PKS harus bekerja sama secara langsung dengan petani kelapa sawit swadaya.

Dengan rantai pasok tersebut, kebijakan biodiesel akan berdampak pada kesejahteraan petani kelapa sawit swadaya secara langsung, tanpa perantara, tanpa tengkulak, tanpa pengepul.

Tulisan ini ditulis oleh Ramada Febrian, selaku peneliti dari Traction Energy Asia.

Artikel ini telah tayang di kumparan.com dengan judul: “Optimalkan Rantai Pasok Biodiesel dengan Melibatkan Petani Kelapa Sawit Swadaya

Jurus Asian Agri Kejar Target Net Zero Emisi di 2030

KATADATA

Perusahaan kelapa sawit Asian Agri mematok net zero emisi di 2030. Salah satu perusahaan anggota Royal Golden Eagle milik Sukanto Tanoto ini akan mengandalkan sumber energi terbarukan dan offset karbon untuk proyek dekarbonisasi.  

Head of Sustainability Asian Agri, Ivan Novrizaldie mengatakan perusahaan saat ini sedang mengajukan izin kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mengelola area restorasi konservasi. Area ini nantinya akan memiliki luas 100.000 hektare atau setara dengan luas perkebunan inti kelapa sawit milik perusahaan. 

“Lokasinya di mana belum bisa saya sebutkan, yang jelas kita sudah punya dan sedang mengajukan izin,” katanya kepada Katadata.

Ivan mengatakan area restorasi ini nantinya akan menjadi salah satu upaya Asian Agri mengejar target net zero di 2030. Asian Agri berkomitmen menjaga area tersebut dan mengidentifikasi jumlah karbon yang bisa diserap. Nantinya, serapan karbon itulah yang akan digunakan sebagai dasar penghitungan dekarbonisasi perusahaan.  

Jika ada kelebihan serapan karbon, Asian Agri juga mengintip peluang untuk ikut bisnis perdagangan karbon. Kendati demikian, menurut Ivan, prioritas utama perusahaan adalah untuk kepentingan internal terlebih dahulu.  

Guna memulai perjalanan dekarbonisasi, Asian Agri telah menghitung jumlah emisi perusahaan di 2021. Hasilnya, Asian Agri mengeluarkan 3,18 juta ton emisi karbon ekuivalen dengan standar penghitungan GHG protocol. Menurut Ivan, penyumbang emisi terbesar datang dari perubahan lahan ari ekosistem alami menjadi perkebunan sawit.

Selain mengandalkan area restorasi, Asian Agri juga berencana membangun lebih banyak pembangkit biogas. Ivan menegaskan selama ini perusahaan juga menggunakan biogas untuk pabrik-pabrik kelapa sawit di sejumlah lokasi. Bahan baku biogas ini berasal dari pengolahan limbah kelapa sawit.

Selain mengandalkan biogas, Asian Agri juga berencana memasang panel surya terutama untuk perkantoran dan perumahan karyawan. Namun, khusus untuk kendaraan listrik, Ivan mengaku penggunaannya di perkebunan sawit belum feasible. 

“Kendaraan listrik torsinya lebih kecil dari konvensional. Sementara jalanan di perkebunan itu berbukit-bukit dan belum diaspal. Bebannya juga sangat berat ketika mengangkut sawit,” ujarnya.

Artikel ini telah tayang di katadata.co.id dengan judul: “Jurus Asian Agri Kejar Target Net Zero Emisi di 2030

KABAR TERKINI

Halaman Berita

Knowledge HUB