You are currently viewing Emisi Gas Rumah Kaca dari Produksi Biodiesel. Lebih Rendah dari Bahan Bakar Fosil atau Sebaliknya?

Emisi Gas Rumah Kaca dari Produksi Biodiesel. Lebih Rendah dari Bahan Bakar Fosil atau Sebaliknya?

Mutmainah Septiani, Traction Energy Asia

Sudah tidak asing lagi bagi kita mendengar kata “Pemanasan Global”. Kata Global membuat isu ini menjadi penting, tidak hanya untuk kawasan atau negara tertentu tetapi bagi seluruh dunia. Hal ini tentunya membuat kita bertanya-tanya, apa yang menyebabkan pemanasan global? Dan apa bahayanya? 

Pemanasan global pada dasarnya disebabkan oleh tingginya konsentrasi Gas Rumah Kaca atau GRK (Karbon Dioksida (CO2) dan Metana) yang terlepas ke udara dan menyebabkan peningkatan suhu rata-rata lapisan atmosfer dan laut. GRK tidak hanya berbahaya untuk kesehatan, tetapi juga dapat menimbulkan bencana bagi ekosistem Bumi. Lantas apa upaya Indonesia dalam mengatasinya?

Pada tahun 2015, dalam pidatonya di KTT Perubahan Iklim (COP 21) Paris, Presiden Joko Widodo mengatakan Indonesia berkomitmen dalam aksi global untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% di tahun 2030. Upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia sebagian besar diproyeksikan dari aksi mitigasi pada sektor lahan dan energi. Dengan target porsi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23% dari total bauran energi primer di tahun 2025 dan 31% di tahun 2050. Target-target tersebut tercantum di dalam Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). 

Menindaklanjuti RUEN, Pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mencapai target tersebut. Salah satunya adalah pemanfaatan Biodiesel dari minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) untuk sektor transportasi.

Pemerintah Indonesia mencanangkan penerapan dan pemanfaatan biodiesel secara bertahap. Tahapan pemanfaatan biodiesel dimulai dari B15 yang berarti campuran antara 15% volume biodiesel dan 85% volume minyak diesel/fosil, kemudian B20 (20% CPO), dan B30 (30% CPO) hingga ke depannya menjadi B100 (green fuel). Beberapa hal yang diharapkan dalam pemanfaatan komoditas kelapa sawit sebagai bahan produksi Biodiesel, yakni:

  • Mewujudkan ketahanan energi nasional
  • Mengurangi konsumsi dan impor bahan bakar fosil
  • Menciptakan nilai tambah untuk industri sawit dari hulu sampai hilir
  • Berkontribusi menurunkan emisi GRK di sektor energi

Namun, masih terdapat polemik dalam proses produksi Biodiesel, mengingat komoditas kelapa sawit yang dianggap tidak ramah lingkungan. Hal ini menjadi kekhawatiran para aktivis lingkungan hidup. Sebab, emisi pembakaran biodiesel memang lebih rendah dibandingkan emisi dari bahan bakar fosil, tetapi jejak emisi karbon dari seluruh proses produksi biodiesel tersebut bisa jadi lebih tinggi. Dengan kata lain posisi kebijakan biodiesel berada dalam sebuah paradoks, ketika biodiesel diharapkan mampu mengurangi emisi GRK, tetapi justru menyumbang emisi GRK lebih banyak ketika dihitung dari proses produksinya.

Kajian Emisi dari Produksi Biodiesel

Traction Energy Asia (Traction) telah melakukan kajian dengan menggunakan metodologi analisa daur hidup atau Life Cycle Analysis (LCA) terhadap produksi Biodiesel dari CPO. Tujuannya untuk membuktikan apakah pemanfaatan biodiesel menghasilkan emisi GRK lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar fosil atau justru sebaliknya. Batasan LCA dalam penelitian ini dimulai dari tahapan alih guna lahan atau Land Use Change (LUC) hingga B20 blending. Dengan demikian, LCA memberikan angka emisi dari praktik produksi biodiesel. 

Traction memperoleh data dari laporan berkelanjutan (sustainability report) dari beberapa perusahaan sawit. Selain itu, tim peneliti Traction juga melakukan survei lapangan untuk pengambilan sampel dan verifikasi data petani sawit swadaya (smallholders). Untuk survei lapangan, Traction memilih dua Kabupaten masing-masing di dua wilayah Provinsi yakni Riau (Siak dan Pelalawan) dan Kalimantan Barat (Sanggau dan Sintang). Kedua provinsi ini dipilih karena termasuk dalam lima provinsi penghasil sawit terbesar di Indonesia berdasarkan data dari Ditjen Perkebunan tahun 2018.

Dalam praktiknya, volume emisi GRK yang besar disebabkan oleh perbedaan fungsi awal lahan, jenis dan jumlah pemakaian pupuk di perkebunan, proses distribusi TBS ke PKS dan praktik pengelolaan POME di PKS. Adanya kebun sawit petani swadaya di lahan gambut menjadikan total emisi dari petani jauh lebih tinggi dari kebun perusahaan, sesuai dengan informasi yang ditampilkan dalam ilustrasi berikut.

Ilustrasi 1.

Kajian ini mencantumkan total emisi GRK mulai dari sektor LUC hingga biodiesel berada pada rentang angka 2,67 kg CO2eq/L B20 hingga 7,09 kg CO2eq/L B20. Semula emisi yang dihasilkan oleh kebun perusahaan lebih besar namun produktivitas perusahaan yang menjadi pembagi juga besar, sehingga emisi per Ton tandan buah segar (TBS) menjadi lebih kecil. Faktor yang menjadi pembeda juga terdapat pada jenis tanah, baik itu mineral atau gambut. Biodiesel yang dihasilkan dari kebun di lahan gambut maka menghasilkan lonjakan emisi GRK yang sangat tinggi, hingga 6,08 kg CO2eq/L B20 untuk Kalimantan Barat dan 7,09 kg CO2eq/L B20 untuk Riau. Namun, apabila diasumsikan tidak terdapat pengembangan lahan sawit dari gambut dan semua pengembangan lahan dilakukan pada jenis tanah mineral, maka total emisi antara petani swadaya dengan perusahaan terpaut tidak jauh. Dengan demikian, budidaya di tanah gambut menjadi sumber emisi terbesar yang sangat mempengaruhi angka akhir emisi GRK biodiesel. 

Selain memperhatikan sektor LUC, kajian ini menunjukkan bahwa sektor lain yang juga berkontribusi besar pada total emisi adalah emisi GRK dari limbah cair pabrik sawit (palm oil mill effluent/POME) di PKS. Pemanfaatan fasilitas methane capture terbukti efektif dalam menurunkan emisi dari POME di PKS lebih dari 50% terhadap total emisi GRK. Maka penting untuk memastikan bahwa CPO diproduksi oleh PKS yang telah dilengkapi dengan fasilitas methane capture. Sedangkan saat ini baru terdapat sekitar 10-11% pabrik biodiesel yang menggunakan methane capture.

Dari hasil penelitian yang disusun oleh Traction terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan, yaitu:

  1. Emisi GRK dari perkebunan dan pabrik kelapa sawit (PKS) memberikan kontribusi emisi GRK sebesar 83% – 95%.
  2. Pemakaian methane capture di PKS dapat menurunkan sekitar separuh dari total emisi pabrik sawit yang merupakan bagian dari rantai perkebunan.
  3. Produktivitas petani swadaya lebih rendah dibandingkan dengan produktivitas perusahaan. Dengan tingkat produktivitas petani swadaya hingga 50% dibawah produktivitas kebun perusahaan, maka diperlukan lahan hingga dua kali luas lahan petani swadaya untuk menghasilkan output yang sama dengan perusahaan. 
  4. Transportasi (pengangkutan tandan buah segar(TBS)) merupakan sumber emisi terbesar bagi petani swadaya.

Adapun rekomendasi yang diajukan Traction untuk perbaikan tata kelola produksi biodiesel adalah:

  1. Perlu ditetapkan ambang batas emisi GRK atas CPO yang digunakan sebagai bahan baku biodiesel di Indonesia.
  2. Sangat diperlukan keterlacakan (traceability) atas perolehan TBS dalam produksi biodiesel dari CPO.
  3. Diperlukan pula perbaikan tata kelola distribusi TBS ke PKS untuk mengurangi emisi GRK dari sektor transportasi.
  4. Peningkatan produktivitas petani swadaya.
  5. Sangat perlu adanya koordinasi yang baik antara sektor LUCF atau perkebuan dan sektor energi.

Menurut Traction melalui kajian ini, untuk mencapai target ketahanan energi dan penurunan emisi GRK sesuai dengan komitmen Pemerintah Indonesia, tata kelola yang baik terhadap pemanfaatan biodiesel dari CPO merupakan syarat mutlak. Kemudian harus dipastikan bahwa biodiesel merupakan energi bersih mulai dari hulu hingga hilir.

Tinggalkan Balasan