Menakar Kelanjutan Peran Biodiesel dalam Transisi Energi
Dalam sebuah konferensi rangkaian Presidensi G20 Indonesia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan bahwa pengembangan biodiesel yang merupakan salah satu sumber Energi Baru dan Terbarukan (EBT) memiliki peran strategis dalam berbagai aspek pembangunan. Salah satunya, berkontribusi dalam aksi perubahan iklim Tanah Air. “Pada 2021, nilai ekonomi dari implementasi B30 mencapai lebih dari US$ 4 miliar dan berhasil menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) hingga 25 juta CO2e,” kata Arifin, mengutip dari laman resmi Kementerian ESDM, Rabu (24/3/22). Pemerintah menargetkan peningkatan bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) menjadi 23 persen pada 2025 dari 11 persen saat
Pengembangan Biodiesel Minyak Jelantah Terkendala Rantai Pasok
Potensi minyak jelantah yang besar untuk menjadi bahan campuran biodiesel terkendala rantai pasok dan bisnis yang belum terbentuk. Pemerintah mengaku masih kesulitan untuk memaksimalkan potensi minyak jelantah menjadi campuran bahan bakar nabati atau biodiesel karena rantai pasok dan bisnis yang belum terbentuk. Terutama yang melibatkan komunitas masyarakat. Direktur Jenderal Energi Baru dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengatakan seluruh campuran Biodiesel B30 dan B40 yang saat ini dikembangkan oleh pemerintah masih menggunakan minyak kelapa sawit baru. “Sekarang belum ada campuran minyak jelantah ke biodiesel karena pengumpulannya yang sulit. Mayoritas minyak jelantah datangnya dari restoran dan hotel.
Harga yang Tinggi Jadi Momok Serapan Biodiesel Minyak Jelantah
Yayasan Lengis Hijau mampu memproduksi biodiesel B100 dari minyak jelantah yang dijual seharga Rp 13.000 per liter, jauh di atas harga solar subsidi. Indonesia memiliki peluang besar untuk mengembangkan pemanfaatan minyak jelantah (used cooking oil/UCO) menjadi biodiesel. Menurut data Kementerian ESDM konsumsi minyak goreng rumah tangga mencapai 13 juta ton per tahun atau setara dengan 16,2 juta kilo liter (KL) pada 2019. Dengan potensi minyak jelantah sebesar 3 juta KL per tahun, minyak goreng bekas yang dikelola dengan baik dapat mengisi 32% dari kebutuhan biodiesel nasional. Walau begitu, ada sejumlah tantangan besar dalam upaya pemanfaatan minyak jelantah menjadi biodiesel,
Potensi Minyak Jelantah di Kota Besar Mencapai 207 Ribu KL
Potensi used cooking oil (UCO) atau minyak jelantah di kota besar area Jawa-Bali mencapai 207.170,65 Kiloliter (KL) per tahun. Jumlah tersebut berdasarkan riset yang dilakukan lembaga kajian Traction Energy Asia pada rumah tangga dan unit usaha mikro. Jabodetabek menjadi kontributor terbesar dengan potensi UCO mencapai 154 ribu KL, diikuti Bandung dengan besaran sekitar 25 ribu KL, Surabaya hampir 14 ribu KL, Bali sekitar 4 ribu KL, Surakarta dan Yogyakarta, masing-masing di kisaran 3 ribu KL, dan Semarang 2.200 KL. Pemetaan potensi UCO yang dilakukan Traction, merupakan bagian dari riset tentang potensi dan dampak pemanfaatan biodiesel berbahan baku minyak jelantah.
Pemanfaatan Minyak Jelantah sebagai Bahan Bakar Alternatif di Indonesia
Konsumsi minyak sawit tahun 2015 yang awalnya 10,33 liter per kapita per tahun menjadi 11,58 liter per kapita per tahun pada tahun 2020. Pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi di Indonesia setiap tahunnya mengakibatkan permintaan konsumsi meningkat, terutama makanan gorengan. Mayoritas makanan Indonesia di restoran maupun kaki lima banyak menggunakan minyak goreng sawit. Hal tersebut terbukti dari konsumsi minyak sawit tahun 2015 yang awalnya 10,33 liter/kapita/tahun menjadi 11,58 liter/kapita/tahun pada tahun 2020. Namun, pembuangan bekas minyak goreng sawit yaitu limbah minyak jelantah tersebut dapat membawa dampak negatif pada berbagai aspek kehidupan, khususnya aspek lingkungan. Pembuangan minyak jelantah sering sekali
Biodiesel dari Jelantah Terbukti Rendah Emisi
Semakin besar pencampuran UCO untuk bahan baku biodiesel, semakin sedikit timbulan emisi yang dihasilkan. Biodiesel dari jelantah atau used cooking oil (UCO) terbukti menghasilkan emisi lebih rendah dibanding biodiesel berbahan dasar minyak sawit murni atau crude palm oil (CPO). Temuan ini berdasarkan penelitian Traction Energy Asia (2022) terhadap timbulan emisi produksi biodiesel UCO dan CPO. Dalam studi Traction Energy Asia, timbulan emisi dilihat berdasarkan pencampuran bahan baku UCO dengan CPO untuk produksi biodiesel. Komposisi pencampurannya antara lain 10 persen UCO dengan 90 persen CPO yang menghasilkan emisi 69 juta tCO2e, 20 persen UCO dengan 80 persen CPO menghasilkan emisi
Membangun Ekosistem Biodiesel UCO
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan biodiesel UCO, pemerintah perlu membangun ekosistem dari hulu ke hilir. Minyak jelantah atau used cooking oil (UCO) berpotensi menjadi bahan baku komplementer biodiesel. Pemanfaatan UCO juga termasuk upaya mewujudkan sirkular ekonomi. Agar pemanfaatannya optimal, pemerintah perlu membangun ekosistem pengumpulan dari hulu ke hilir. Kajian Pemerintah Kota Surakarta hasil kerja sama dengan Traction Energy Asia menyebutkan, kejelasan alur ekosistem merupakan hal penting. Mulai dari pengumpulan UCO dari para pengguna minyak goreng seperti rumah tangga, Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), hotel, restoran, dan kafe. UCO dari berbagai penghasil tersebut kemudian dikumpulkan oleh kelompok usaha yang ada di desa