Taman Belajar Memberi Energi di Petamburan

 

Lapangan bulu tangkis yang kini dimanfaatkan sebagai lokasi Taman Belajar untuk warga Petamburan. Foto oleh Annisa Sekar Sari.

Gang-gang sempit mengarah ke lapangan bulu tangkis kecil yang terletak di antara perumahan sederhana dan sebuah masjid di wilayah Petamburan, bagian dari Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ada sebatang pohon mati dengan boneka beruang yang tergantung di salah satu sisi lapangan tersebut, sementara tiang jaring bulu tangkis berdiri di sisi lain, digunakan seseorang untuk menjemur cucian mereka. Meski lapangan bulu tangkis hanya cukup besar untuk beberapa pemain, sebanyak 25 hingga 50 anak-anak warga sekitar mampu mengisi tempat tersebut selama akhir pekan.

“Kami tidak lagi menggunakan lapangan bulu tangkis untuk olahraga. Sejak pandemi dimulai, kami menjadikannya sebagai Taman Belajar untuk anak-anak,” kata Mikhail Adam yang dikenal warga sebagai Adam, penduduk asli Petamburan, dan mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI).

Anak-anak warga telah berkumpul di sini selama lebih dari satu tahun untuk sesi membaca material-material yang sesuai dengan usia mereka yang Adam dan relawan lainnya bisa dapatkan, seperti komik dan dongeng. Setelah sesi membaca, para relawan mengajar Matematika, Bahasa Inggris, atau mata pelajaran lain yang dibutuhkan anak-anak.

Untuk menambah semangat, anak-anak kadang bermain sepak bola sebagai gantinya. Jika hujan, aktivitas berpindah ke dalam masjid setempat.

Adam menyebut Taman Belajar sebagai sebuah usaha warga dan dimiliki oleh warga. Warga telah membantu menggalang dana untuk Taman Belajar, antara lain dengan menyumbangkan minyak jelantah.

Ibu Lis Sumarni dan Ibu Nurhasanah. Keduanya menyumbangkan minyak jelantah sebagai sedekah untuk Taman Belajar tempat anak-anak mereka belajar. Foto oleh Annisa Sekar Sari.

“Meskipun kami tahu sebelumnya bahwa minyak jelantah itu buruk bagi kesehatan, kami tidak tahu bahwa minyak jelantah itu bernilai dan dapat dikumpulkan serta dijual. Dulu kami juga membuangnya. Ketika kami mengetahui hal ini, kami memutuskan untuk mulai mengumpulkan minyak jelantah untuk mendanai Taman Belajar anak-anak kami. Jadi, saya mulai mengumpulkan minyaknya dalam botol dan memberikannya kepada Adam. Tidak ada salahnya berdonasi, bukan? Saya melihat ini sebagai sedekah,” ibu rumah tangga Lis Sumarini menjelaskan dengan ceria. Lis tinggal di dekat lapangan bulu tangkis dan anaknya mengikuti program mingguan Taman Belajar.

Anggota komunitas Petamburan lainnya, Nurhasanah, yang duduk di sebelah Lis juga berbicara tentang manfaat Taman Belajar. Ia memiliki usaha kecil menjual beberapa jenis gorengan untuk anak-anak dan telah mengumpulkan minyak goreng bekas, baik dari keperluan rumah tangganya maupun dari kios, untuk inisiatif ini.

“Anak-anak yang belajar di rumah karena pandemi menambah beban kerja kami karena kami harus mendukung mereka. Taman Belajar telah membebaskan satu hari kami dari tugas ini karena anak-anak punya hal lain untuk dilakukan di luar,” katanya. Nurhasanah kemudian menoleh ke Lis dan bertanya, “Menurutmu, siapa yang lebih pintar karena belajar dari rumah? Kita atau anak-anak? Kayaknya kita.” Lis menjawab, “Ya, harusnya kita yang naik kelas.”

Lis dan Nurhasanah hanyalah dua dari 65 ibu rumah tangga dan pemilik usaha kecil yang telah mengumpulkan minyak jelantah sejak November 2020. Warga sejauh ini telah mengumpulkan 180 liter minyak goreng bekas yang disimpan dalam berbagai ukuran wadah di depan rumah Adam.

Adam beserta sebotol minyak jelantah hasil sumbangan warga di depan rumahnya. Foto oleh Annisa Sekar Sari.

Warga Indonesia lainnya perlu mencontoh warga Petamburan dalam pengumpulan minyak jelantah yang memberikan manfaat bagi lingkungan, ekonomi, dan kesehatan. Kini, minyak jelantah dapat digunakan untuk menggantikan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel, mengingat penggunaan minyak sawit untuk memproduksi biodiesel, selain untuk  produk-produk makanan dan kosmetik, meningkatkan permintaan komoditas dan risiko deforestasi untuk untuk memenuhi permintaan sawit. Diperkirakan kita memerlukan tambahan 15 juta hektar perkebunan kelapa sawit untuk memenuhi kebutuhan biodiesel. Selain itu, karena minyak jelantah biasanya dibuang ke saluran pembuangan, komunitas seperti Petamburan yang mengumpulkan dan menjualnya untuk digunakan kembali membantu mengurangi limbah yang diakibatkan oleh pembuangannya secara lokal.

Mengumpulkan minyak jelantah juga dapat memiliki manfaat ekonomi karena bisa digunakan untuk membuat lilin dan sabun. Adam telah menggunakannya untuk membuat lilin aromaterapi untuk dijual kepada dosen dan teman-temannya seharga Rp25.000-30.000 – jauh lebih murah dari harga eceran yang biasanya sekitar Rp 50.000 – untuk membantu mendanai Taman Belajar Petamburan. Namun, tantangannya adalah bagaimana cara memproduksinya secara konsisten untuk memenuhi permintaan pasar. Setelah Adam membuat lilin pertamanya, ia kesulitan untuk membuat lebih banyak lagi.

Ketika Lis mengetahui bahwa minyak jelantah juga bisa digunakan untuk lilin dan sabun, matanya berbinar. “Betulkah? Bisakah kita diajari cara membuat sabun dari minyak jelantah?” Kemudian para ibu rumah tangga ini mengobrol sendiri tentang bagaimana pengetahuan membuat sabun dapat membantu mereka menghemat uang untuk membeli sabun baru, serta mendapatkan uang tambahan dari menjual produk ini karena adanya permintaan akan sabun.

Semangat untuk menjaga ruang komunitas – Taman Belajar – mengungkapkan manfaat lain dari mengumpulkan minyak goreng bekas: dampak positifnya bagi masyarakat. Petamburan menjadi contoh yang baik untuk menunjukkan bahwa kepentingan masyarakat, ekonomi, dan lingkungan dapat berjalan beriringan, tidak harus berbenturan.

Tinggalkan Balasan