Mengapa Seretnya Investasi Energi Bersih Berbahaya Bagi Keanekaragaman Hayati Indonesia

Tangkapan udara Taman Nasional Sebangau yang menjadi rumah bagi flora dan fauna di Kalimantan. Aktivitas penambangan batu bara, yang masih menjadi sumber energi listrik utama di Indonesia, mengancam keanekaragaman hayati di pulau tersebut baik langsung dan tidak langsung. barkah wibowo/unsplash, CC BY-SA

Minimnya investasi di sektor energi terbarukan menjadi salah satu pemicu tingginya emisi sektor energi di Indonesia.

Badan Energi Internasional mencatat total investasi di Indonesia untuk pembangkit listrik energi fosil pada periode 2015-2019 adalah US$ 20,7 miliar atau setara Rp 289,8 triliun, mencakup 70% dari total nilai investasi pembangkit listrik pada periode tersebut. Sisanya adalah nilai investasi untuk pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT), sebesar US$8,9 miliar atau setara Rp 124,6 triliun.

Belakangan, realisasi investasi sektor EBT juga minim. Dari target sebesar US$3,97 miliar pada tahun lalu, realisasinya per Juni 2022 baru mencapai US$670 juta atau sekitar 16,9%.

Rendahnya realisasi investasi energi bersih menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk memenuhi komitmen pengurangan emisi pada sektor energi dan melestarikan keanekaragaman hayati Indonesia. Sebab, tanpa pasokan energi bersih yang cukup, negeri ini akan bergantung pada energi fosil yang membahayakan kelangsungan bumi dan mahluk hidup didalamnya.

Berdasarkan komitmen pengurangan emisi terbarunya (yang disebut dengan Nationally Determined Contribution/NDC) 2022, Indonesia menargetkan pemangkasan emisi sektor energi hingga 358 juta ton setara karbon dioksida (MTCO2e) atau 12,5% dari total target pengurangan emisi nasional pada 2030.

Sementara, pada Konferensi Biodiversitas Perserikatan Bangsa-Bangsa atau COP15 di Montreal, terdapat kesepakatan oleh anggota, termasuk Indonesia untuk melindungi 30% permukaan bumi mulai dari hutan hingga terumbu karang.

Ancaman lingkungan

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat, jumlah produksi listrik pada 2021 mencapai 309.076 gigawatt jam (GWh). Pembangkit listrik berbahan bakar fosil mendominasi produksi listrik tersebut sebesar 81,83%. Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara menjadi kontributor utama dengan pangsa 75,04% dari total produksi listrik berbahan bakar fosil atau setara 61,4% dari total produksi listrik seluruh pembangkit.

Aktivitas yang terkait dengan batubara, mulai dari penambangan, pengolahan, pengangkutan, pemanfaatan, dan pembuangan limbah berdampak langsung dan tidak langsung terhadap udara, air, tanah, biodiversitas (terkait mahluk hidup), dan kesehatan manusia.

Penambangan batubara merusak stabilitas ekosistem tanah, karena membuat spesies mikroba dan kualitas tanah menurun. Hal ini berdampak langsung pada pengangkutan dan transformasi material dan nutrisi dalam ekosistem tanaman, dan berkurangnya vegetasi tanaman.

Di Kalimantan, misalnya, studi yang diterbitkan oleh kelompok peneliti dan aktivis lingkungan, Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), pada 2022 menegaskan bahwa dari 35 perusahaan tambang di Kalimantan yang masuk dalam pengujian, 23 di antaranya membawa ancaman tinggi terhadap lingkungan.

Padahal, studi menyatakan Kalimantan menjadi habitat lima spesies berstatus kritis terancam punah, 33 spesies berstatus terancam punah, dan 69 spesies berstatus rentan di sekitar area pertambangan batu bara di pulau tersebut.

Fase pemanfaatan batu bara, khususnya untuk pembangkit listrik, juga melepaskan emisi yang besar. Kementerian Energi mencatat, sebesar 43,83% dari total emisi yang dihasilkan oleh sektor energi pada 2019 berasal dari industri produsen energi. Pembangkit listrik menyumbang 97,22% dari total emisi tersebut.

Di tingkat global, pembakaran bahan bakar fosil, termasuk batu bara, merupakan salah satu kontributor utama dalam emisi Gas Rumah Kaca (GRK) – hampir 90% dari seluruh emisi CO2. Efek ini mendorong terjadinya peningkatan suhu bumi dan perubahan iklim yang merupakan salah satu ancaman besar bagi keanekaragaman hayati.

Menurut Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN), peningkatan suhu bumi telah menyebabkan perubahan ekologi seperti migrasi ikan salmon chinook ke sungai-sungai di Kutub Urara, perubahan perilaku spesies termasuk waktu berkembang biak yang lebih awal untuk walet pohon Amerika Utara.

Di Kalimantan, misalnya, pertambangan batu bara memengaruhi tingkat suhu dan curah hujan secara signifikan, bertambah 1 derajat Celcius selama 16 tahun terakhir. Ini berbahaya bagi terumbu karang sebagai pelindung pantai dan pesisir serta pendukung ekosistem laut, yang sangat sensitif terhadap perubahan suhu.

Tingkatkan investasi energi bersih

Demi pelestarian bumi, pemerintah mesti mengatasi berbagai hambatan proyek energi bersih di Indonesia.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan investasi energi bersih Indonesia sulit terwujud. Kementerian Energi menyebutkan kondisi COVID-19 membuat investasi EBT sulit tercapai. Proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) juga belum optimal karena terganjal kesepakatan tarif antara pengembang dengan PLN.

Harga yang tak ekonomis, serta risiko investasi yang mesti ditanggung, juga membuat pebisnis enggan menanamkan modal di sektor EBT.

Sebuah studi juga menegaskan bahwa Indonesia masih bergantung pada bank konvensional lokal dalam mendanai investasi energi. Sementara, lembaga-lembaga ini masih cenderung condong ke pembiayaan proyek batu bara karena dinilai lebih menguntungkan dan minim risiko.

Hal ini diperparah dengan kebijakan pemerintah yang cenderung pro batu bara dengan menekankan pada penyerapan suplai untuk domestik. Ini dari kontribusi batu bara ke bauran energi yang ditargetkan meningkat dari 24% pada 2011 menjadi 30% pada 2025.

Sebetulnya, terdapat beberapa langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk meningkatkan investasi seperti pemberian insentif fiskal melalui keringanan pajak seperti tax allowance dan tax holiday, pembebasan bea masuk barang modal, serta upaya lainnya seperti penyelenggaraan nilai ekonomi karbon dan pemensiunan dini PLTU.

Sejalan dengan itu, pada 13 September 2022 pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Aturan tersebut diharapkan dapat meningkatkan investasi dan mempercepat pencapaian target bauran energi terbarukan dalam bauran energi nasional serta penurunan emisi gas rumah kaca.

Upaya-upaya di atas patut di apresiasi. Namun tanpa komitmen untuk menindaklanjuti berbagai persoalan di atas, pemenuhan investasi EBT bisa jadi jauh dari harapan.

Pengembangan ekosistem investasi yang ramah terhadap pembangkit listrik ramah lingkungan diperlukan untuk mendukung agenda global dalam menahan laju peningkatan suhu bumi dan menurunnya tingkat keanekaragaman hayati. Dengan meningkatkan investasi pembangkit listrik energi bersih, Indonesia akan semakin berperan dalam menahan laju perubahan iklim serta ancaman terhadap keanekaragaman hayati.

 

Artikel ini telah tayang di theconversation.com dengan judul: “Mengapa seretnya investasi energi bersih berbahaya bagi keanekaragaman hayati Indonesia