Potensi munculnya emisi gas rumah kaca dari pengembangan biodiesel terlihat dari jejak karbon yang dikeluarkan sepanjang rantai pasok biodiesel. Hasil penelitian Traction Energy Asia pada 2019 menemukan, proses produksi biodiesel di sisi hulu justru menghasilkan emisi yang lebih besar dibanding hilir. Kontribusi emisi hulu mencapai lebih dari 80 persen dari total emisi pada rantai pasok biodiesel.
Diperkirakan, industri sawit Indonesia menyumbang 15 persen terhadap total emisi nasional. Angka tersebut merupakan akumulasi emisi dari oksidasi lahan perkebunan gambut, pembukaan lahan, dan limbah cair pabrik sawit.
Selain itu, moda transportasi pengangkutan tandan buah segar (TBS) juga menjadi sumber emisi perkebunan petani swadaya. Laporan Traction Energy Asia menyebutkan, pemakaian bahan bakar untuk transportasi petani swadaya berada pada kisaran 39 persen di lahan sawit Kalimantan Barat dan 49 persen di Riau, dua provinsi lumbung sawit Indonesia.
Di samping emisi, persoalan di sektor hulu juga terkait risiko ekspansi lahan perkebunan kelapa sawit yang mengarah ke area hutan alam. Ekspansi lahan perkebunan sawit ke area hutan alam justru mengancam keberadaan hutan sebagai penyimpan karbon. Hutan yang luas dan terpelihara dengan baik berperan besar dalam menyerap emisi CO2. Ancaman ekspansi lahan ini berpotensi muncul akibat meningkatnya kebutuhan bahan baku sawit akibat penggunaan biodiesel yang kian meningkat.
Menurut perhitungan Yayasan Madani Berkelanjutan, permintaan global terhadap minyak sawit sebagai implikasi dari penggunaan bahan bakar nabati akan mencapai 67 juta ton pada 2030. Angka ini enam kali lipat dari permintaan 2021 dan lebih besar dari total produksi CPO dunia pada waktu yang sama.
Untuk proyeksi dalam negeri, kajian LPEM UI menyebutkan Indonesia akan mengalami defisit CPO sebesar 1,26 juta ton pada 2025. Angka tersebut merupakan proyeksi dari skenario program B20. Defisit berpotensi semakin besar mengingat pemerintah akan terus meningkatkan campuran biodiesel di masa mendatang.
Namun, lonjakan kebutuhan bahan baku biodiesel, tidak harus diikuti dengan ekspansi lahan perkebunan kelapa sawit. Manajer Riset Traction Energy Asia, Ricky Amukti mengusulkan solusi untuk menutupi kekurangan bahan baku biodiesel tanpa harus merusak hutan alam.
“Implementasi biodiesel harus diimbangi. Antara meningkatkan baurannya dengan menjaga supply bahan baku. Jika tidak begitu, ini akan menimbulkan risiko pembukaan lahan lebih besar,” ujar Ricky saat menjadi pembicara dalam Katadata Earth Day Forum 2021, Rabu (21 April 2021). Solusinya, menurut Ricky, adalah melibatkan petani swadaya dalam rantai pasok biodiesel dan meningkatkan produktivitas lahan petani swadaya.
Petani swadaya masih berada pada posisi paling lemah dalam tata niaga minyak kelapa sawit. Rantai pasok yang panjang, kecilnya luasan perkebunan, dan lemahnya pola usaha tani ditengarai menjadi penyebab. Apalagi dari sisi produktivitas lahan petani swadaya saat ini masih rendah.
Di provinsi Riau misalnya, tingkat produktivitas petani swadaya rata-rata berada di angka 10,4 ton tandan buah segar (TBS) per ha per tahun. Angka ini hanya separuh dari rata-rata produktivitas kebun perusahaan seperti Wilmar Internasional yakni 19,7 ton TBS per ha dan Golden Agri Resources (GAR) sebesar 20,5 ton TBS per ha.
“Intensifikasi dan peremajaan sawit rakyat menjadi agenda penting yang harus dikejar pemerintah dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS),” kata Ricky. Melalui peningkatan produktivitas lahan petani swadaya ini, maka pembukaan lahan baru bisa dicegah sehingga bisa menekan tingkat deforestasi dan berguna untuk menyerap emisi CO2.
Usulan peningkatan produktivitas lahan petani swadaya ini mendapatkan respons positif pemerintah. Kasubdit Keteknikan dan Lingkungan Bioenergi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, Effendi Manurung sepakat bahwa untuk menutupi kekurangan pasokan bahan baku biodiesel akan dilakukan dengan memaksimalkan intensifikasi dari kebun sawit yang ada. “Pemerintah tidak akan mendukung pembukaan lahan baru untuk memenuhi kebutuhan sawit,” katanya dalam forum yang sama.
Apalagi, menurut Efendi, stok CPO Indonesia relatif masih mencukupi, bahkan untuk memproduksi B40. “Untuk B30 kita hanya membutuhkan 9,2 juta KL, sedangkan stok CPO kita sekarang mencapai 52 juta KL.”
Selain peningkatan produktivitas petani swadaya dan mencegah ekspansi lahan sawit, terkait permasalahan di hulu biodiesel, Traction Energy Asia dalam kajiannya merekomendasikan sejumlah langkah untuk mendorong perbaikan tata kelola. Pertama, pemerintah perlu menetapkan ambang batas emisi GRK dari CPO yang dihasilkan untuk bahan baku. Kedua, bahan baku TBS yang digunakan harus berasal dari kebun yang dibuka sebelum 2008. Serta ketiga, memastikan keterlacakan dan transparansi TBS dalam produksi biodiesel.
Artikel ini telah tayang di Katadata.co.id dengan judul: “Jejak Karbon Rantai Pasok Biodiesel – Analisis Data Katadata“