Mengolah dan mendaur ulang limbah minyak jelantah, memang bukan satu hal yang baru. Pasalnya, sudah banyak edukasi dan sosialisasi untuk menjadikan limbah rumah tangga ini sebagai peluang bisnis. Sebut saja, membuat sabun dan lilin daur ulang dari minyak jelantah, yang cukup populer.
Serta-merta hal ini dilakukan untuk mencegah pencemaran lingkungan. Apalagi hasil olahan tersebut mampu mendatangkan keuntungan. Saat ini, para pengusaha menengah hingga kelas atas pun, sudah banyak yang tertarik menjadikan minyak jelantah sebagai produk usaha.
Fenomena serupa pernah dibahas oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang menjelaskan bahwa kebutuhan biodiesel negara dapat terpenuhi melalui olahan minyak bekas tersebut.
Tak disangka, di Jakarta, berdiri satu dari banyaknya perusahaan yang mendaur ulang minyak jelantah menjadi biodiesel. Traction Energy Asia, mempunyai fokus identifikasi, pemetaan, pemahaman, dan desain strategi untuk mempercepat peralihan menuju pertumbuhan ekonomi rendah karbon. Didukung oleh energi bersih, untuk mengurangi dampak merusak dari perubahan iklim.
Ricky Amukti selaku Engagement Unit Manager, Traction Energy Asia, bercerita kepada kumparan (18/5), bahwa kini konsumsi minyak goreng sangat berlebih. Bila dibuang begitu saja, hanya akan menimbulkan kerusakan lingkungan tempat tinggal.
“Saat ini konsumsi minyak goreng di Indonesia mencapai 16,2 juta kiloliter. Sayangnya hanya 18,5 persen atau 3 juta kiloliter yang mampu dikumpulkan untuk diolah kembali; yang lebih miris dari 3 juta KL tersebut ada sekitar 2,43 juta KL yang dijadikan minyak goreng rekondisi yang berbahaya bagi kesehatan,” ungkapnya.
Ricky turut memperhatikan jika adanya feedstock sebesar itu sangat sayang kalau disia-siakan. Padahal, minyak jelantah punya potensi ekonomi dan energi yang besar. Apabila mampu dimaksimalkan, bisa menghasilkan 3,5-5,6 juta kiloliter, yang memenuhi 38-60, persen kebutuhan biodiesel saat ini.
Program pengolahan minyak jelantah jadi biodiesel
Selain itu, Ricky juga menjelaskan bila Indonesia tengah menjalankan program mandatori B30 atau biodiesel 30 persen. Maka dari itu, kalau produk bisnis biodiesel minyak jelantah dapat dimaksimalkan, akan ada sekitar 939 ribu – 1,48 juta hektar hutan/lahan yang terselamatkan.
Umumnya, cara efektif mengumpulkan minyak bekas menggoreng ini melalui suatu komunitas. Semisal membuat model bank sampah atau limbah, supaya warga mudah menemukan titik pengumpulan. Model ini bisa diterapkan pada tingkatan RT atau RW. Ricky pun menyarankan untuk bekerja sama juga dengan para pedagang kaki lima lainnya.
Sejatinya, kesadaran akan pembuangan limbah minyak goreng bekas yang berlebihan ini sudah jadi tanggung jawab para warga sekitar. Karena ditakutkan ke depannya makin banyak pencemaran lingkungan yang terjadi. Oleh karena itu, menurut Ricky, komunitas semacam pengolahan dan daur ulang minyak jelantah ini harus dibangun di tengah kehidupan sehari-hari.
Jika perilaku mengolah minyak bekas berkelanjutan sudah terbentuk, maka akan lebih mudah untuk proses pengumpulan. Ricky pun mengakui bahwa proses pengumpulan adalah tantangan terbesar.
Melalui bisnisnya, Ricky berharap pemerintah segera mengeluarkan peraturan serta mengakui minyak jelantah, sebagai sumber bahan baku biodiesel yang baik. Seperti yang diketahui, sekarang biodiesel Indonesia masih single feedstock dari minyak sawit (CPO).
Tak lupa, ia menambahkan bila setidaknya ada peraturan khusus tentang mekanisme pengumpulan minyak bekas. Sebab, ada beberapa kelompok yang berusaha mendaur ulang kembali minyak, tapi dalam bentuk produk yang mengancam kesehatan; seperti minyak rekondisi.
Artikel ini telah tayang di kumparan.com dengan judul: “Potensi Minyak Jelantah Bekas Menggoreng Jadi Sabun hingga Biodiesel”