Pemanfaatan Biodiesel Mesti Penuhi Prinsip Berkelanjutan

Jumlah emisi gas rumah kaca dari biodiesel berpotensi hampir sama dengan solar. Padahal, Indonesia tengah berupaya untuk transisi ke energi bersih.

KOMPAS/RIZA FATHONI
Pekerja memanen kelapa sawit di areal perkebunan PT Sawit Sumbermas Saran Tbk (SSMS) di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Kamis (29/4/2021). PT SSMS memproduksi minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dengan kapasitas produksi sebesar total 2.500 ton per hari.

 

JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan bahan bakar nabati berbasis minyak kelapa sawit atau biodiesel tidak boleh abai pada prinsip-prinsip kelestarian lingkungan. Pemenuhan kriteria berkelanjutan bisa menandakan biodiesel dapat mendukung transisi energi bersih di Indonesia.

Aspek berkelanjutan pada biodiesel menjadi salah satu sorotan dalam publikasi berjudul ”Critical Review on the Biofuel Development Policy in Indonesia” yang diterbitkan Institute for Essential Services Reform (IESR), Selasa (4/5/2021), di Jakarta. Publikasi itu menyebutkan, dalam skenario tanpa intervensi, permintaan terhadap bahan bakar nabati (BBN) pada 2050 dapat menyentuh 190 juta ton setara minyak bumi (MTOE) atau naik drastis dari saat ini yang berkisar 8 MTOE.

Apabila terdapat intervensi, Peneliti Spesialis Bahan Bakar Bersih IESR Julius Christian menyebutkan, permintaan BBN pada 2050 dapat mencapai 93 MTOE. Besaran ini mendekati kapasitas kilang yang diperkirakan sebanyak 73 MTOE. ”Mayoritas BBN di Indonesia digunakan untuk sektor transportasi. Oleh sebab itu, intervensinya berupa penggunaan kendaraan listrik dan pembangunan rendah karbon,” tuturnya saat diskusi peluncuran publikasi yang diadakan secara dalam jaringan, Selasa.

Dia menggarisbawahi keterkaitan pembangunan rendah karbon dengan pemanfaatan biodiesel. Menurut sejumlah data yang dihimpun, jumlah emisi gas rumah kaca dari biodiesel berpotensi hampir sama dengan solar yang merupakan jenis energi fosil. Padahal, Indonesia tengah berupaya untuk transisi ke energi bersih.

Engagement Manager Traction Energy Asia Ricky Amukti menyatakan, penghitungan emisi karbon pada biodiesel di Indonesia masih terkendala transparansi dan ketertelusuran data sepanjang rantai produksi hingga sampai di konsumen. Oleh sebab itu, dia meneliti dengan dua skenario, yakni biodiesel yang membuka lahan dan yang tidak membuka lahan.

Berdasarkan penelitiannya, Ricky mengungkapkan, emisi dari produk biodiesel yang tak membuka lahan sekitar 0,73 -2,97 kilogram karbon dioksida ekuivalen per liter (kgCO2e/liter). Emisi biodiesel yang membuka lahan diperkirakan dapat mencapai 68,41 kgCO2e/liter. Adapun emisi solar berkisar 3,14 kgCO2e/liter.

Dia menambahkan, kebijakan BBN di Indonesia membutuhkan diversifikasi produk. Sebab, jika hanya menaikkan produksi biodiesel tanpa mempertimbangkan kondisi hulu, ancaman deforestasi dapat membayangi. Contoh produk alternatifnya ialah limbah minyak jelantah yang berpotensi diolah menjadi biodiesel. Potensi minyak jelantah tersebut saat ini sekitar 6 juta kiloliter dan serapan tenaga kerjanya mencapai 2,2 juta orang.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menambahkan, kebijakan BBN Indonesia mesti progresif dan merinci aspek nilai keekonomian, dampak lingkungan, beserta keragaman produknya. ”Hal ini mengingat minyak kelapa sawit juga digunakan untuk pangan dan kosmetik,” katanya.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Presiden Joko Widodo menyaksikan pengisian bahan bakar dengan menggunakan biodiesel 30 persen (B30) pada kegiatan peresmian implementasi energi baru terbarukan B30 di SPBU Pertamina, Jalan MT Haryono, Jakarta Selatan, Senin (23/12/2019).

 

Sementara itu, menurut Direktur Bioenergi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Andriah Feby Misna, pemerintah juga menghadapi kendala yang sama dalam menghitung emisi karbon biodiesel dalam siklus produksi yang menyeluruh. Penghitungan perbandingan saat ini berdasarkan jumlah emisi yang keluar saat menggunakan biodiesel maupun solar.

Oleh sebab itu, lanjut Andriah, saat ini pemerintah tengah menyusun indikator keberlanjutan bioenergi. ”Memang belum bisa diterapkan pada tahun ini atau tahun depan. Penyusunan indikator ini turut mempertimbangkan kemampuan industri untuk memenuhinya. Jangan sampai indikator tersebut malah membuat produksi tidak sesuai harapan,” katanya.

Terkait pemenuhan prinsip berkelanjutan, Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia Tatang Hernas Soerawidjaja menyebutkan, sertifikasi The Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dapat menjadi indikator bagi pemasok biodiesel. Meskipun demikian, dia tak menampik, terdapat 10-15 persen perkebunan kelapa sawit berdiri di atas lahan gambut.

Artikel ini telah tayang di kompas.id dengan judul: “Pemanfaatan Biodiesel Mesti Penuhi Prinsip Berkelanjutan