You are currently viewing Pekebun Swadaya, Pekebun Berdaya

Pekebun Swadaya, Pekebun Berdaya

Hari Tani Nasional yang jatuh setiap 24 September memperingati ulang tahun Undang-Undang No. 5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yang mengamanatkan pelaksanaan reforma agraria. Peringatan ini diperkokoh dengan Keputusan Presiden (Keppres) No. 169/1963. Undang-undang ini menjadi salah satu regulasi yang bersejarah di Indonesia, sebab ia menggantikan hukum agraria kolonial dengan hukum agraria nasional yang sesuai dengan kehidupan rakyat Indonesia.

Sebagai refleksi akan peringatan Hari Tani Nasional, kini, isu pertanian tidak hanya berkaitan dengan kesejahteraan petani saja. Masalah lingkungan pun turut berkelindan dengannya; kebutuhan akan lahan untuk pertanian maupun perkebunan berpotensi menghasilkan emisi karbon yang signifikan dari peralihan lahan. Laporan Panel Ahli Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) pada 2019 menyebutkan bahwa antara 2007-2016, sebanyak 23% dari total emisi global berasal dari sektor pertanian, kehutanan, dan pemanfaatan lahan lain. Keberadaan pertanian dan perkebunan yang lebih sadar lingkungan sekaligus memperhatikan kesejahteraan petani menjadi semakin penting.

Menanggapi isu tersebut, Traction Energy Asia mengadakan talkshow bertajuk “Pekebun Sawit Mandiri Kunci Biodiesel Lestari” pada 23 September 2021. Acara ini diadakan untuk mengaitkan isu kesejahteraan petani dan pekebun yang merupakan marwah Hari Tani Nasional dengan isu penurunan emisi karbon melalui partisipasi dalam rangkaian acara Minggu Rendah Emisi–diusung oleh Traction Energy Asia bersama Yayasan Madani Berkelanjutan, Koaksi, dan Sawit Watch. Rangkaian acara yang berlangsung sejak 21-23 September ini memperingati Hari Perlindungan Lapisan Ozon sedunia (16 September), Hari Emisi Nol Sedunia (21 September), Hari Bebas Kendaraan Bermotor (22 September), serta Hari Tani Nasional.

Para pemapar, penanggap, dan moderator dalam talkshow “Pekebun Sawit Mandiri Kunci Biodiesel Lestari”.

Dalam talkshow ini, Traction Energy Asia mengangkat kertas kerja terbarunya, yakni “Analisis Biaya-Manfaat Pekebun Sawit Mandiri dalam Tata Niaga Biodiesel Nasional” yang menjelaskan mengapa kebijakan penempatan pekebun mandiri dalam tata niaga biodiesel adalah kebijakan yang layak diimplementasikan. Penanggap hasil temuan tersebut adalah Andriah Feby Misna (Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral), Dedi (Sub. Koordinator Penerapan Teknologi dan Pemberdayaan, Kementerian Pertanian), serta Rukaiyah Rafik (Kepala Sekolah Petani Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia—FORTASBI).

Kelapa sawit menjadi komoditas yang disorot dalam penelitian maupun diskusi ini. Pasalnya, pemerintah dalam beberapa tahun ini menggadang-gadang program mandatori biodiesel sebagai salah satu kebijakan untuk mengurangi ketergantungan akan bahan bakar fosil. Dari permukaan, memang betul kebijakan biodiesel terlihat lebih ramah lingkungan ketimbang bahan bakar fosil.

Namun, kebijakan biodiesel belum memperhitungkan volume emisi yang muncul dari sektor hulu yaitu pada tahap budidaya penanaman sawit hingga pengolahan tandan buah segar menjadi minyak kelapa sawit mentah (CPO), misalnya dari alih fungsi lahan seperti gambut, jenis dan jumlah pemakaian pupuk, proses distribusi tandan buah segar kelapa sawit ke pabrik kelapa sawit, hingga pengelolaan limbah cair sawit yang menghasilkan gas metana. Kajian Traction Energy Asia sebelumnya menemukan bahwa emisi gas rumah kaca dari alih fungsi lahan dari hutan ke perkebunan dan pabrik kelapa sawit sendiri berkontribusi sebesar 83-95% ke emisi gas rumah kaca nasional.

Di sisi lain, permintaan akan crude palm oil (CPO) yang meningkat akibat kebijakan biodiesel ini belum tentu menyejahterakan pekebun kecil kita. Statistik Kelapa Sawit (Badan Pusat Statistik, 2019) menyebutkan bahwa sepertiga minyak kelapa sawit kita berasal dari perkebunan rakyat. Perkebunan rakyat sendiri terdiri atas pekebun plasma (pekebun yang dikontrak oleh perusahaan kelapa sawit) serta pekebun mandiri. Jumlah pekebun mandiri sendiri belum diketahui karena status mereka yang juga belum diakui secara legal, namun secara umum mereka memiliki luas lahan sawit maksimal lima hektare serta tingkat produktivitas sawitnya hanya sekitar satu ton per hektare. Mereka juga cenderung berada di kelas ekonomi bawah serta merupakan keluarga penerima manfaat (KPM) jaminan sosial.

Kertas kerja terbaru Traction Energy Asia tersebut menghitung biaya program kebijakan penempatan pekebun mandiri dalam tata niaga biodiesel dan membandingkannya dengan manfaat yang berpotensi didapat. Hasil perhitungan kami menunjukkan bahwa dari setiap biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan kebijakan ini ada 2,13 manfaat yang diperoleh. Dengan nilai manfaat yang lebih besar dari nilai biaya, kebijakan ini layak dilakukan.

Dari sudut pandang lingkungan, pelibatan pekebun sawit mandiri dalam rantai pasok biodiesel nasional mampu mendukung komitmen Pemerintah Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca paling tidak sebesar 29% di tahun 2030. Pengurangan emisi dapat terjadi karena risiko deforestasi dapat berkurang apabila pekebun mandiri masuk ke dalam rantai pasok biodiesel. Dengan begitu, bahan baku biodiesel, yaitu minyak kelapa sawit, juga dapat dilacak dan rantai pasoknya menjadi lebih transparan. Hal ini bisa membuat emisi gas rumah kaca biodiesel dari kelapa sawit menjadi lebih rendah.

Meski demikian, produktivitas pekebun sawit mandiri sendiri rendah dibandingkan dengan perusahaan, yakni hanya separuh dari produktivitas perusahaan sawit. Untuk memenuhi kebutuhan yang sama, pekebun sawit mandiri memerlukan lahan dua kali lipat lahan perusahaan yang justru akan menambah emisi dan berisiko merusak lingkungan. Maka, perlu ada komitmen serius seperti kemitraan dengan perusahaan kelapa sawit untuk melakukan intensifikasi lahan pekebun mandiri serta peningkatan kapasitas pekebun mandiri.  Analisis biaya-manfaat membuktikan bahwa pelibatan pekebun sawit mandiri dalam rantai pasok biodiesel nasional mampu menghemat anggaran program mitigasi bencana lingkungan di Provinsi Riau dan Kalimantan Barat serta program penurunan gas rumah kaca di Provinsi Riau hingga 141 miliar rupiah.

Di sisi lain, kebijakan ini juga menguntungkan pekebun mandiri. Pasar sawit memiliki banyak penjual dengan sedikit pembeli, sehingga daya tawar para pekebun mandiri rendah. Kebijakan penempatan pekebun mandiri dalam rantai pasok CPO berkontribusi pada peningkatan pendapatan pekebun sawit mandiri dan keluarganya. Bagi pemerintah, ini artinya menghemat 61,4 miliar rupiah anggaran jaminan sosial dan nilai tambah sebesar 144 miliar rupiah dari perdagangan tandan buah segar kelapa sawit yang lebih berkelanjutan.

Rukaiyah Rafik dari FORTASBI menyampaikan pendapatnya perihal apa yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk memastikan biodiesel yang berkelanjutan dari hulu. “Tantangan terbesar bagi petani adalah pemetaan lahan serta aspek legalitas. Maka, kami menyambut baik upaya pelibatan pekebun mandiri demi tata niaga biodiesel yang lebih baik dan pelaksanaan kebijakan yang tepat sasaran. Misalnya, yang harus menjadi prioritas adalah pemetaan atau kajian lokasi-lokasi perkebunan sawit yang dipakai untuk biodiesel, terutama pekebun yang belum memakai bibit berkualitas.”

Sementara itu, dari sisi kebijakan, Andriah Feby Misna yang mewakili Kementerian ESDM menjelaskan upaya kementerian tersebut sejauh ini dalam memastikan biodiesel yang berkelanjutan. “Komitmen kami dalam memastikan biodiesel yang berkelanjutan adalah dengan menyiapkan indikator keberlanjutan untuk industri biodiesel, di mana aspek ketertelusuran dan transparansi masuk di dalamnya. Indikator-indikator ini sedang dikaji. Kementerian ESDM siap mendorong program biodiesel menerapkan indikator keberlanjutan ini.”

Pada akhirnya, menurut Dedi dari Kementerian Pertanian, pemerintah tidak bisa bekerja sendirian dan membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. “Untuk menjamin harga tandan buah segar yang diterima petani lebih layak, memang pekebun sawit perlu bekerjasama dengan pabrik kelapa sawit. Untuk mendorong hal tersebut, hal ini tidak bisa dilakukan sendirian oleh pemerintah. Kami juga perlu dukungan dan kerjasama dari pemangku kepentingan terkait, termasuk asosiasi-asosiasi petani,” tutupnya.