Penanaman prinsip keberlanjutan ke dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah perlu diperkuat demi pengendalian dampak perubahan iklim.
Belakangan, kita semakin dihadapkan pada dampak nyata dari perubahan iklim. Khususnya di wilayah Indonesia pada periode 1 Januari hingga 19 September 2023, BNPB mencatat fenomena bencana alam (selain gempa bumi dan erupsi gunung api) seperti cuaca ekstrem, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), banjir, tanah longsor, kekeringan, dan gelombang pasang dan abrasi mencapai 2.886 kejadian. Bukti fenomena perubahan iklim juga semakin diperkuat berdasarkan laporan Copernicus Climate Change Service (C3S) yang menunjukkan bahwa tahun 2023 diproyeksi akan menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dampak perubahan iklim sangat berpengaruh terhadap segala aspek kehidupan karena sumber kehidupan dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia mayoritas ditopang dari komoditas yang berasal langsung dari alam. Hanya saja, pengelolaan komoditas yang dilakukan secara eksploitatif akan menjadi ‘pisau bermata dua’. Satu sisi menguntungkan bagi perekonomian dalam jangka pendek, sisi lainnya akan memicu bencana lingkungan dan kerugian yang lebih besar dalam jangka panjang.
Pada konteks tingkat daerah, berlakunya desentralisasi dan otonomi daerah memberikan tanggung jawab yang sangat sentral bagi pemerintah daerah dalam menjaga daya dukung kualitas lingkungan, keanekaragaman hayati, dan kawasan konservasi yang ada di daerah. Upaya ini dapat diintegrasikan ke dalam rumusan perencanaan daerah jangka menengah maupun jangka panjang sesuai dengan Undang-Undang (UU) No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah di mana pemerintah daerah wajib menyusun dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) yang berlaku selama 20 tahun dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang berlaku untuk lima tahun sesuai dengan pergantian kepala daerah.
Maka, pemerintah daerah yang secara administratif dan geografis memiliki ekosistem dan sumber daya alam vital, baik itu kawasan konservasi, hutan tropis, lahan gambut, hutan bakau, maupun ekosistem perairan lainnya, perlu merumuskan konsep pembangunan daerah yang berkelanjutan.
Investasi lestari untuk pengendalian perubahan iklim
Fakta tentang dampak perubahan iklim kini telah menjangkau berbagai lapisan masyarakat dan mulai terdapat kesadaran dalam memilih produk berkelanjutan. Dikutip dari Sustainability Report milik NielsonIQ (2023), 69% konsumen global saat ini merasa praktik keberlanjutan penting bagi mereka dibandingkan dua tahun yang lalu. Indonesia tercatat menjadi negara di kawasan Asia Pasifik dengan jumlah konsumen tertinggi yang mengakuinya. Survei yang dilakukan NielsonIQ juga menunjukan bahwa 74% konsumen global setuju bahwa pemerintah harus meningkatkan peraturan untuk mendorong kegiatan usaha bergerak lebih cepat dalam mengadopsi praktik-praktik berkelanjutan.
Informasi ini seharusnya menjadi dorongan kuat bagi para pemangku kebijakan di tingkat daerah untuk mengundang investasi di sektor ekonomi hijau demi membangun ekosistem rantai pasok berkelanjutan sebagai bentuk pengendalian perubahan iklim. Dengan terwujudnya rantai pasok berkelanjutan, maka akan dapat memenuhi permintaan pasar global atas produk yang ramah lingkungan dan dapat meminimalisasi risiko bencana lingkungan ataupun alam.
Pada hari Rabu, 4 Oktober 2023 lalu, Koalisi Ekonomi Membumi (KEM) bersama dengan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) menyelenggarakan seminar nasional bertajuk “Tantangan Pembangunan Daerah di Tengah Fenomena Perubahan Iklim, Ancaman Bencana Lingkungan, & Upaya Investasi Lestari”. Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal, Nurul Ichwan, S.E., M.M dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dalam seminar nasional ini memaparkan bahwa tren keberlanjutan di pasar global saat ini memicu kebutuhan investasi domestik maupun asing secara langsung dalam pengendalian perubahan iklim.
Ia menyebutkan bahwa saat ini rata-rata anggaran untuk pengendalian perubahan iklim pada APBN, yaitu sebesar Rp100,4 Triliun. Besar anggaran tersebut baru mencapai 29,9% dari kebutuhan anggaran idealnya berdasarkan Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, yakni Rp343,6 Triliun. Pada titik ini peran investasi lestari sangat dibutuhkan dalam menutup selisih antara anggaran yang tersedia dengan anggaran yang ideal. Investasi lestari yang dimaksud berarti investasi yang ramah lingkungan, berkomitmen untuk mendidik tenaga kerja lokal, bersedia melakukan alih teknologi, dan memberikan nilai tambah bagi Indonesia dalam pengelolaan sumber daya alam.
Menurut Nurul Ichwan, dengan hadirnya investasi lestari diprediksi akan memberikan potensi lapangan pekerjaan baru sebanyak 1,8–2,2 juta pada 2060 dari berbagai sektor, seperti sektor energi terbarukan, lahan berkelanjutan dan revitalisasi pertanian, dan ekonomi sirkular.
Kabupaten Siak merupakan salah satu daerah yang telah menetapkan dan menjalankan strategi kebijakan pembangunan berkelanjutan melalui investasi lestari. Bupati Siak, Drs. H. Alfedri, M.Si, menyatakan bahwa dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan pemajuan budaya Melayu, Siak telah menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Siak No.4 Tahun 2022 tentang Siak Kabupaten Hijau. “Dalam programnya, kami melakukan praktek kolaborasi di mana pemda menyusun program lintas OPD (organisasi perangkat daerah), sampai desa kita memberikan dana TAKE (Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi), sampai masyarakat dan organisasi sipil, serta filantropi,” tambahnya.
Penerapan Peraturan Daerah Siak Hijau ini menjadi percontohan yang baik bagi kabupaten-kabupaten lain di Indonesia yang memiliki ekosistem dan sumber daya alam vital, untuk segera merumuskan strategi pembangunan daerah berkelanjutan dengan investasi lestari.
Deklarasi bersama wujudkan pembangunan daerah berkelanjutan
KEM berupaya untuk mengakomodasi pemerintah kabupaten dalam mewujudkan pembangunan daerah dengan prinsip berkelanjutan dan tanggap bencana lingkungan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan pengembangan komoditas lestari.
Seperti yang disampaikan oleh Tommy Pratama selaku Direktur Eksekutif Traction Energy Asia, yang juga tergabung di dalam Kelompok Kerja Advokasi KEM, ia mengatakan “Dalam seminar ini, isu-isu strategis bidang lingkungan dan bencana lingkungan perlu dirumuskan sebagai permasalahan pembangunan daerah, sehingga dengan menemukenali permasalahan yang ada maka secara teknokratik akan dapat merumuskan tujuan, sasaran, strategi dan kebijakan pembangunan daerah yang berkelanjutan.”
Seminar nasional ini mengundang 123 kabupaten dari berbagai daerah di wilayah barat, tengah dan timur Indonesia, untuk berpartisipasi dan secara simbolis melakukan penandatanganan Deklarasi Bersama Pembangunan Berkelanjutan dan Tanggap Bencana Lingkungan. Deklarasi Bersama ini diartikan sebagai sebuah sikap komitmen bagi para pemerintah kabupaten untuk merumuskan strategi kebijakan perencanaan daerah dengan prinsip pembangunan lestari serta membangun ekosistem industri hijau di daerah. Secara khusus, poin-poin yang disepakati di dalam Deklarasi Bersama mencakup:
- Berkontribusi pada tujuan pembangunan nasional dengan menyertakan diksi “berkelanjutan” atau “lestari” di dalam visi dan misi dokumen RPJPD dan RPJMD agar selaras dengan Visi Indonesia Emas 2045 yang diusung dalam RPJPN 2025 – 2045.
- Mendukung pengembangan komoditas unggulan/andalan/prospektif daerah dengan implementasi rantai pasok berkelanjutan, mekanisme gotong royong, dan kolaborasi multipihak yang mempertimbangkan daya dukung lingkungan serta risiko bencana alam akibat perubahan iklim.
- Mempromosikan potensi penanaman modal daerah dan peluang pendanaan non-APBD/APBN, serta memberikan akses kemudahan berusaha pada industri yang mengusung konsep ekonomi hijau.
Sebagai tindak lanjut dari komitmen yang tercantum dalam Deklarasi Bersama, masing-masing pemerintah kabupaten yang berpartisipasi nantinya mendapatkan akses materi modul, video paparan dan konsultasi secara daring dengan para ahli melalui e-learning (https://elearning.tractionenergy.asia/) pada 2023 hingga 2025 untuk menyusun dokumen perencanaan daerah.