Transisi Energi yang Adil Tak Sekedar Turunkan Emisi Karbon

  • Transisi energi tak sekadar turunkan emisi tetapi harus berkeadilan. Saat ini, pemahaman dan penerapan prinsip adil dalam transisi energi, melenceng dari yang seharusnya. Apalagi, Indonesia sudah membentuk Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) seharusnya jadi jalan untuk mengakomodir aspirasi publik mengenai berkeadilan, dalam rencana komprehensif transisi energi.
  • Torry Kuswardono,  Direktur Eksekutif Yayasan Pikul Indonesia mengatakan, transisi energi saat ini salah logika karena menggunakan logika pertumbuhan ekonomi dengan tetap mengandalkan eksploitasi.  Transisi energi, harus berkeadilan dan menjamin integrasi ekosistem, lingkungan dan integritas sosial.  
  • Ahmad Ashov Birry, Direktur Program Trend Asia mengatakan, dengan ada sekretariat JETP, dalam pelaksanaan harus  transparan termasuk sisi pendanaan dan rencana investasi.  JETP, harus jadi jalan mengakomodir aspirasi publik menuju transisi energi berkeadilan.
  • Untuk energi berkeadilan, kuncinya adalah diversifikasi dan mempertahankan integritas pulau-pulau kecil, tanpa mengorbankan kemampuan adaptasi dari pulau itu.

Transisi energi tak sekadar turunkan emisi tetapi harus berkeadilan. Saat ini, pemahaman dan penerapan prinsip adil dalam transisi energi, melenceng dari yang seharusnya. Apalagi, Indonesia sudah membentuk Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) seharusnya jadi jalan untuk mengakomodir aspirasi publik mengenai berkeadilan, dalam rencana komprehensif transisi energi.

Torry Kuswardono,  Direktur Eksekutif Yayasan Pikul Indonesia mengatakan, transisi energi saat ini salah logika karena menggunakan logika pertumbuhan ekonomi dengan tetap mengandalkan eksploitasi.

Transisi energi, katanya, harus berkeadilan dan menjamin integrasi ekosistem, lingkungan dan integritas sosial.  Jadi, katanya, transisi energi tak hanya berpatokan pada target penurunan emisi semata.

Transisi energi, katanya,  harus mempertimbangkan siklus menyeluruh dari sektor energi dan penilaian guna melihat kemampuan adaptasi suatu daerah yang mengalami transisi energi dari berbagai faktor, serta bagaimana dampaknya.

“Transisi energi yang tidak mempertimbangkan kemampuan adaptasi lingkungan ke depan akan memunculkan masalah baru,” katanya.

Dia contohkan, dengan ada kebijakan kendaraan listrik, perlu penilaian bagaimana dampak pertambangan nikel bagi masyarakat sekitar. “Jangan sampai ada pihak-pihak yang dirugikan dalam transisi dan berujung ketidakadilan.”

Sepakat dengan Torry, Ahmad Ashov Birry, Direktur Program Trend Asia mengatakan, prinsip ‘keadilan’ hal paling fundamental pada transisi energi.

“Saya berharap transisi energi direncanakan dan dilaksanakan dengan konsultasi dan partisipasi publik yang bermakna,” katanya.

Dengan terbentuk sekretariat JETP, dalam pelaksanaan harus  transparan termasuk sisi pendanaan dan rencana investasi.  “Jadi sangat krusial agar dapat terhindar dari solusi-solusi palsu dan kerugian besar yang mengikutinya,” kata Ashov.

JETP, katanya, harus jadi jalan mengakomodir aspirasi publik menuju transisi energi berkeadilan.

Dalam mendukung transisi energi adil dan berkelanjutan, Trend Asia menggaungkan nilai, prinsip, dan langkah strategis dari transisi energi yang adil dan berkelanjutan di Indonesia dengan melihat, pertama, akuntabilitas, transparansi, dan partisipatif. Kedua,  penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia. Ketiga, keadilan ekologis. Keempat, keadilan ekonomi.

Kelima, transformatif, bukan sekadar transisi teknologi tetapi harus mendorong transformasi pembangunan ekonomi menyeluruh dari ekonomi ekstraktif dan sentralistik ke ekonomi regeneratif dan demokratis.

Perawatan rutin panel surya. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

Untuk itu, katanya, empat langkah strategis dapat dilakukan, pertama, percepatan pensiun dini PLTU dan pengakhiran pertambangan batubara. Kedua, meninggalkan solusi-solusi palsu transisi energi. Ketiga, reformasi PLN dan kebijakan energi. Keempat, perancangan dan implementasi transisi energi yang akan memastikan transisi jalan berkelanjutan dengan titik tekan pelibatan publik dan proses dari bawah ke atas (bottom-up).

Ashov bilang, Indonesia punya target 23% bauran energi terbarukan pada 2025. Hingga kini capaian masih rendah sekitar 11-12%. Hal ini, katanyam karena masih banyak kebijakan pemerintah kontradiktif, masih berpihak pada industri fosil.

Masih ada 13,8 Giga Watt PLTU yang dipertahankan pemerintah untuk terus dibangun tanpa tenggat waktu pasti dalam menyetop PLTU batubara baru. Belum lagi masih banyak insentif bagi industri batubara.

“Aspek penting lain, konsep dan kerangka transisi energi yang berkeadilan belum didefinisikan dengan baik oleh pemerintah.”

Dia khawatir transisi energi tetapi tak menyasar pada masalah utama, bahkan menghasilkan solusi-solusi palsu seperti co-firing batubara atau gasifikasi batubara.

Kompleks PLTU I Indramayu, Jabar yang asap batubara dari operasionalnya berdampak negatif terhadap pertanian dan kesehatan warga setempat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Pemanfaatan sumber daya lokal

Perihal target energi terbarukan, untuk transisi energi, Tommy Pratama, Direktur Eksekutif Traction Energy Asia berpandangan, angka 23% untuk capaian 2025 kurang realistis. Pasalnya, pemerintah masih bertumpu pada sektor bioenergi yaitu biofuel atau bahan bakar nabati dan biomassa co-firing dengan batubara.

Biofuel yang dominan sawit, dan biomassa justru bisa menghasilkan emisi lebih tinggi jika melihat dari rantai produksi keseluruhan.

“Saat ini, kontribusi biofuel pada target energi terbarukan sekitar 11-12%. Yang dibutuhkan saat ini diversifikasi energi rendah karbon untuk dapat dikembangkan di Indonesia, seperti solar panel, tenaga angin, micro hydro, dan arus laut. Bukan justru mengembangkan energi terbarukan yang emisi akan lebih tinggi dari bahan bakar fosil.”

Tommy menambahkan, bioenergi maupun biomassa hanya sementara karena bisa mempertajam kompetisi antara sawit untuk pangan dan energi.

Jadi, katanya, sawit tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan sektor energi hingga perlu biodiesel generasi kedua atau ketiga, seperti penggunaan minyak jelantah dan bahan baku ganggang di pesisir laut.

Penggunaan sawit untuk biofuel, katanya, juga sempat membebani APBN sampai Rp2,7 triliun.

Guna mencari solusi transisi energi yang adil, Traction Asia sudah riset perbandingan dampak lingkungan sosial dan ekonomi. Riset ini dengan melihat PLTU Jawa 7 untuk pasokan listrik Jawa Bali berbahan bakar batubara dengan PLTB Sidrap 1 di Sulawesi Selatan.

Perbandingan itu, katanya, menghasilkan polusi pencemaran dari PLTU Jawa 7 berdampak negatif pada para nelayan karena tak dapat mencari ikan akibat polusi air cukup tinggi.

Di PLTB Sidrap 1 justru tidak mengeluarkan polusi udara, hingga masyarakat bisa beraktivitas dengan baik. “Diversifikasi energi rendah karbon adaptif dengan konteks lokal inilah yang seharusnya dikembangkan pemerintah dengan mengundang investor asing.”

Diversifikasi energi juga diamini oleh Torry, ”Energi berkeadilan layaknya akses pada pangan perlu adaptif menyesuaikan dengan daya dukung pulau atau lokasi tertentu dalam konteks sumber energi untuk bertransisi.”

Untuk energi berkeadilan, katanya,  kuncinya adalah diversifikasi dan mempertahankan integritas pulau-pulau kecil, tanpa mengorbankan kemampuan adaptasi dari pulau itu.

Secara keseluruhan, transisi energi merupakan hal yang tidak bisa dihindari untuk mencapai net zero pada 2060.Meski begitu, katanya,  upaya ini harus tetap memperhitungkan dampak yang akan muncul dari proses transisi baik sisi ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Hal paling penting, katanya,  melakukan langkah-langkah mitigasi atas perhitungan risiko dengan pendekatan pencegahan dan kehati-hatian.

Kincir dari PLTB Sidrap. Dok: Setneg RI

 

Artikel ini telah tayang di mongabay.co.id dengan judul: “Transisi Energi, Tak Sekadar Turunkan Emisi Karbon”