Minyak goreng bekas atau minyak jelantah lebih ekonomis dibandingkan kelapa sawit untuk bahan baku biodiesel. Selain untuk penghematan, penggunaan minyak jelantah ini menumbuhkan sirkular ekonomi masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup.
Manajer Riset Traction Energy Asia Ricky Amukti menyoroti penggunaan kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel yang memerlukan dana besar. Pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mengucurkan dana segar Rp 2,78 triliun yang bersumber dari APBN untuk pengembangan kelapa sawit.
Dana tersebut untuk membiayai peremajaan, sarana dan prasarana, serta pembinaan sumber daya manusia. Di sisi lain, harga minyak mentah dunia saat ini malah anjlok dan membuat biodiesel kurang ekonomis.
“Maka dari itu kami mendorong minyak jelantah sebagai feedstock biodiesel,” kata dia dalam Katadata Forum Virtual Series: Peluang Minyak Jelantah Sebagai Alternatif Bahan Baku Biodiesel, Kamis (7/1).
Konsumsi domestik minyak goreng di Indonesia pada 2019 mencapai 13 juta ton atau 16,2 juta kilo liter. Dari jumlah itu, potensi menjadi biodiesel sebanyak 3,24 juta kilo liter. Dengan asumsi 5 liter minyak jelantah menjadi 1 liter biodiesel. Jika ingin lebih efisien, bisa juga mengkonversi 1 liter minyak jelantah menjadi 0,7 liter biodiesel.
Sedangkan jumlah minyak jelantah yang dapat dikumpulkan di Indonesia pada 2019 mencapai 3 juta kilo liter dengan 1,6 juta kilo liter berasal dari rumah tangga perkotaan besar. Namun, dari sekitar 3 juta kilo liter minyak jelantah yang terkumpul tersebut, hanya kurang dari 570 ribu kilo liter yang dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel maupun untuk kebutuhan lainnya. “Sebagian besar digunakan untuk minyak goreng daur ulang dan ekspor,” ujarnya.
Pada 2019, tercatat 148.380 ton atau 184,09 kilo liter minyak jelantah dalam negeri untuk ekspor. Sisanya 1,95 juta ton atau 2,43 juta kilo liter didaur ulang menjadi minyak goreng.
Setiap tahunnya, ekspor minyak jelantah terus mengalami peningkatan. Negara-negara yang melakukan impor dari indonesia hampir seluruhnya digunakan untuk bahan baku biodiesel. “Pekerjaan rumah bagi kita bagaimana menerapkan teknologi. Karena ternyata minyak jelantah digunakan untuk biodiesel,” ujarnya.
Ia mengungkapkan biaya konversi biodiesel dari minyak jelantah lebih besar dibandingkan biaya konversi biodiesel dari kelapa sawit. Harga indeks produksi (HIP) minyak jelantah untuk biodiesel lebih murah dibandingkan dengan HIP biodiesel kelapa sawit karena faktor bahan baku.
Biaya konversi minyak jelantah sebesar US$ 209 per ton, kemudian untuk kelapa sawit hanya US$ 85 per ton. Namun, harga indeks produksi harga terendah minyak jelantah hanya sekitar Rp 5.000 dan harga tertinggi minyak jelantah Rp 6.000. Sedangkan CPO harga indeks produksi tertinggi Rp 9.539 dan terendah Rp 6.348.
Sehingga, dia menilai perlu adanya kebijakan yang menyebutkan minyak jelantah sebagai salah satu feedstock biodiesel. Kemudian perlu kebijakan yang mengatur kompensasi atau insentif pengumpulan minyak jelantah, memasukkan biodiesel minyak jelantah dalam insentif BPDPKS, dan pembatasan ekspor minyak jelantah.
Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Andriah Feby Misna mendorong penggunaan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel.
Dari hasil pengujian yang dilakukan lembaganya, kualitas biodiesel dari minyak jelantah dapat menyamai biodiesel yang menggunakan kelapa sawit. Namun, pemerintah pemerintah perlu terus mendorong pencampuran dengan spesifikasi tinggi. Misalnya untuk campuran bahan baku B100 yang menetapkan pada kadar air.
“Kalau spek ini bisa dipenuhi, bisa dijual kepada masyarakat. Nah ini mungkin yang harus dilihat lagi. Apakah produk biodiesel dari minyak jelantah ini bisa memenuhi spek campuran yang saat ini sudah B30,” ujarnya.
Meksi mempunyai segudang manfaat, namun ada juga beberapa tantangan pengembangan biodiesel berbasis minyak jelantah di Indonesia. Salah satunya menurut Feby yakni pemrosesan biodiesel. Minyak jelantah mengandung asam lemak bebas dengan konsentrasi cukup tinggi sehingga membutuhkan katalis asam homogen.
Tantangan lainnya terkait keberlanjutan bahan baku diperlukan pemetaan potensi bahan baku dan mekanisme pengumpulan minyak jelantah dari restoran, hotel dan rumah tangga. Membutuhkan mekanisme harga beli karena harga minyak jelantah fluktuatif. Diperlukan pengembangan teknologi efisien dan terjangkau.
Kemudian perlu adanya insentif untuk pengembangan biodiesel berbasis minyak jelantah. Saat ini insentif hanya berfokus pada biodiesel berbasis kelapa sawit.
Diperlukan penentuan zona pengembangan program karena sebaran lokasi sumber minyak jelantah tidak simetris dengan lokasi pengolahan biodiesel. Kemudian terdapat keterbatasan kontribusi badan usaha biodiesel berbasis minyak jelantah, di mana sejauh ini baru terdapat dua badan usaha. Serta pentingnya sinergi sosialisasi terkait bahaya penggunaan minyak jelantah untuk memasak.
“Jadi pada prinsipnya kami mendukung program minyak jelantah menjadi bahan baku biodiesel. Tapi sekali lagi yang harus kita lihat bagaimana nanti harga yang menjadi kunci,” kata dia.
Artikel ini telah tayang di katadata.co.id dengan judul: “Lebih Ekonomis, Minyak Jelantah Masih Terbatas untuk Bahan Biodiesel“