Petani Sawit Belum Nikmati Program B30

Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menyebut, industri biodiesel masih dikuasai swasta dan asing sehingga petani gagal menikmati Program B30. (Foto: SPKS)

 

Jakarta, CNN Indonesia — Program biodiesel 30 persen atau yang dikenal dengan Program B30 dikembangkan pertama kali oleh pemerintah pada 2016. Namun dalam satu tahun terakhir, program yang digadang bisa menekan impor migas ini justru tak dapat dinikmati oleh para petani sawit.

Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menyebut, industri biodiesel masih dikuasai swasta dan asing. Pemenuhan bahan baku di sektor hulu dinilai belum melibatkan petani kelapa sawit swadaya yang menggarap lahan seluas 5,5 juta hektare.

Sekretaris Jenderal SPKS Manseuetus Darto mengatakan, belum ada perusahaan negara maupun petani kelapa sawit yang menjadi pemasok utama Pertamina dan industri biodiesel lain terkait pemenuhan bahan baku. Mandatori B30 disebut tak mengubah kondisi yang telah lama terjadi, di mana petani swadaya tetap menjual tandan buah segar ke tengkulak dengan harga rendah.

Hal serupa terjadi pada dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) di kala pandemi berupa subsidi sebesar Rp2,78 triliun. Menurut Mansuetus, subsidi itu hanya menguntungkan para pengusaha kelapa sawit.

“Kalau sekarang itu pemerintah Menko Perekonomian ingin menaikkan B30 ini menjadi B40, menurut kita semestinya dihentikan dulu B30 ini sambil melakukan perbaikan,” kata Mansuetus.

Perbaikan yang dimaksud, adalah kebijakan dari Kementerian ESDM dan Kemenko Perekonomian yang memastikan bahan baku untuk industri biodiesel diperoleh dari petani. Minimal, lanjut Mansuetus, 10 atau 20 persen, yang diharapkan akan meningkat secara bertahap.

“Situasinya saat ini, industri-industri yang bergerak di hilir ini, sebagaimana yang direkomendasikan ada kurang lebih 18 perusahaan, sebenarnya mayoritas dari mereka juga punya kebun sawit di sektor hulu. Jadi harus ada kebijakan yang mampu memaksa industri biodiesel dan juga Pertamina untuk membangun kemitraan dengan petani swadaya,” tuturnya.

Riset yang dilakukan oleh Lembaga Traction Energy Asia menyatakan, penting memberi pembekalan bagi para petani swadaya tentang praktik perkebunan CPO yang baik guna meningkatkan produktivitas. Sehingga, akan dibutuhkan peraturan yang mewajibkan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BU BBN) untuk membeli CPO dari pabrik yang bermitra dengan petani swadaya, demi membentuk rantai CPO berkelanjutan.

Manager Riset Traction Energy Asia Ricky Amukti mengungkapkan, pola kemitraan menjadi strategi sinergi yang tepat. Selain ideal, pola tersebut juga memberi beragam keuntungan bagi petani swadaya sawit.

“Seperti yang saya sebut, petani langsung menyuplai ke pabrik kelapa sawit, pabrik yang nanti menyuplai ke BU BBN. Ini sangat ideal, kenapa begitu? Yang pertama, petani bisa mendapatkan harga yang bagus karena tidak perlu melewati tengkulak, dan juga petani mendapatkan bimbingan dari pabrik tentang kualitas (CPO yang dibutuhkan),” kata Ricky.

Baik petani sawit maupun lembaga riset sepakat, Program B30 sebaiknya tidak dilanjutkan, atau mundur ke program sebelumnya yaitu Mandatori B20. Pemerintah ditekankan perlu mengambil langkah tegas untuk memperbaiki tata kelola dan tata niaga sawit, serta meningkatkan produktivitas petani swadaya.

Pada awal 2020, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa Program B30 dapat menghemat devisa negara hingga Rp63 triliun, sekaligus menekan defisit neraca perdagangan akibat impor minyak. Program disebut berpotensi menguntungkan negara, karena 30 persen bahan biosolar berasal dari komoditas kelapa sawit Indonesia.

Artikel ini telah tayang di cnnindonesia.com dengan judul: “Petani Sawit Belum Nikmati Program B30