Pengembangan Biodiesel Minyak Jelantah Terkendala Rantai Pasok

Potensi minyak jelantah yang besar untuk menjadi bahan campuran biodiesel terkendala rantai pasok dan bisnis yang belum terbentuk.

Pemerintah mengaku masih kesulitan untuk memaksimalkan potensi minyak jelantah menjadi campuran bahan bakar nabati atau biodiesel karena rantai pasok dan bisnis yang belum terbentuk. Terutama yang melibatkan komunitas masyarakat.

Direktur Jenderal Energi Baru dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengatakan seluruh campuran Biodiesel B30 dan B40 yang saat ini dikembangkan oleh pemerintah masih menggunakan minyak kelapa sawit baru.

“Sekarang belum ada campuran minyak jelantah ke biodiesel karena pengumpulannya yang sulit. Mayoritas minyak jelantah datangnya dari restoran dan hotel. Rantai bisnisnya belum tercipta,” kata Dadan di Kantor Kementerian ESDM Kamis (11/8).

Tantangan lainnya yakni minyak jelantah mengandung asam lemak bebas dengan konsentrasi cukup tinggi sehingga membutuhkan katalis asam homogen dan diperlukan pengembangan teknologi yang lebih lanjut.

Kementerian ESDM mencatat, siklus pengolahan minyak jelantah menjadi biodiesel diawali dengan proses pemurnian kemudian disaring dan selanjutnya dicampur dengan arang aktif untuk dinetralkan. Setelah itu dilakukan transferivikasi yang menghasilkan biodiesel kasar dan dimurnikan untuk menghasilkan biodiesel. Proses ini menggunakan prinsip zero process. Simak databoks berikut:


Peran Kementerian ESDM dalam proyek biodiesel berada di sektor hilir yang mengurusisoal penelitian hingga pengolahan bahan baku menjadi barang siap pakai. Dadan menyebut, campuran biodisel tidak harus berasal dari minyak kelapa sawit yang baru.

“Mau pakai minyak apapun terserah yang penting speknya masuk, tidak melihat apakah itu minyak goreng baru atau bekas. Tapi sekarang kan insentifnya dari dana sawit, jadi bahan bakunya harus dari sawit,” ujar Dadan.

Dadan menilai bahwa minyak jelantah punya potensi besan untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar nabati. Namun, karena rantai bisnis yang belum tercipta, sebagian besar minyak jelantah dijual ke luar negeri.

“Minyak jelantah itu potensi. Saya dengar minyak jelantah itu dijual ke luar negeri karena mendapatkan harga yang baik,” ucap Dadan.

Menurut catatan Kementerian ESDM, pemanfaatan biodiesel dari minyak jelantah terbuka lebar karena konsumsi minyak goreng rumah tangga di tahun 2019 mencapai 13 juta ton per tahun atau setara dengan 16,2 juta kilo liter (KL), dengan potensi minyak jelantah sebesar 3 juta KL per tahun.

Sebelumnya Manager Riset Traction Energy Asia, Fariz Panghedar menjelaskan total potensi minyak goreng bekas dari rumah tangga dan unit usaha mikro di kota-kota besar seperti Pulau Jawa dan Bali mencapai 207,17 ribu KL per tahun. Sedangkan dari rumah tangga dan unit usaha mikro di level nasional sebesar 1,24 juta KL per tahun.

Ia melanjutkan, saat ini sebagian besar permintaan bahan bakar nabati biodiesel berasal dari sektor maritim. Oleh karenanya, Fariz mengusulkan agar memfungsikan sejumlah tempat seperti pelabuhan dan perumahan warga di kota-kota besar dan padat penduduk seperti Pulau Jawa dan Sumatera sebagai sentra pengumpulan minyak jelantah.

Menurutnya, bahan bakar nabati dari minyak jelantah bisa digunakan sebagai bahan bakar di mesin-mesin yang kecepatannya rendah seperti genset, forklift, dan boiler.

“Kemudian itu bisa didistribusikan lebih dulu ke kilang-kilang dan ke lokasi yang sama dengan lokasi pengepulan untuk selanjutnya digunakan di kegiatan pelayaran dan perikanan seperti di daerah Kendal, Semarang, Surabaya bisa menyediakan sektor perikanan dan industri,” kata dalam Katadata IDE 2022, Kamis (7/4).

Artikel ini telah tayang di Katadata.co.id dengan judul: “Pengembangan Biodiesel Minyak Jelantah Terkendala Rantai Pasok”,