Suara.com – Hampir semua orang Indonesia suka gorengan. Masalahnya, minyak goreng yang digunakan di kaki lima sering kali sudah melalui pemanasan berulang, sehingga membahayakan kesehatan.
Minyak goreng bekas pakai atau minyak jelantah punya nilai ekonomi yang tinggi, jika dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bahan bakar biodiesel. Yang lebih menggiurkan, omzet usaha dari minyak jelantah ini bisa mencapai ratusan juta rupiah!
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melihat semua potensi dari berbagai bahan baku untuk bisa dikembangkan secara komersial. Untuk bisa berkontribusi dalam B30 (30 persen biodiesel tercampur dalam BBM), ada dua prinsip yang perlu dipenuhi oleh biodiesel.
“Pertama, secara kualitas harus mencapai standar spesifikasi biodesel. Kedua, secara keekonomian juga harus dapat terimplementasi. Jika kedua prinsip tersebut bisa dipenuhi oleh biodiesel dari jelantah, maka potensi jelantah sebesar 3 juta kiloliter per tahun akan dapat memenuhi 32% kebutuhan biodiesel nasional,” kata Hudha Wijayanto ST. MT, Analis Kebijakan Ahli Muda, Subkoordinator Keteknikan Bioenergi, Kementerian ESDM.
Belum banyak orang yang memanfaatkan limbah dapur ini untuk industri biodiesel. Andi Hilmi adalah salah satu pengusaha yang mampu melihat peluang tersebut, bahkan sejak ia masih sekolah di jenjang SMA.
“Ketika itu kami mengembangkan puluhan diversifikasi energi. Namun, yang paling ideal adalah biodiesel,” kata Andi, milenial asal Makassar yang sudah mempunyai usaha biodiesel berskala industri bernama GenOil sebelum berusia 21 tahun.
Bahan bakar biodiesel dari minyak jelantah bisa mengatasi masalah dari berbagai aspek, termasuk kesehatan dan masalah lingkungan hidup. Ricky Amukti, Engagement Unit Manager Traction Energy Asia, mengungkapkan, “Minyak jelantah yang dibuang sembarangan akan berpengaruh langsung terhadap lingkungan hidup. Jika menumpuk di selokan, akan menimbulkan bau dan air selokan jadi kotor. Jika terserap di tanah, kualitas tanah akan menurun.”
Jika tertarik untuk menjajal usaha ini, simak 5 kiat sukses berikut ini:
1. Pastikan ada kebutuhan
Andi terpikir untuk membuat biodiesel dari minyak jelantah karena melihat ketika itu terjadi kelangkaan BBM yang hampir merata di Indonesia. Tak jauh dari kotanya, banyak nelayan tak bisa melaut, karena tak kebagian bahan bakar.
“Saya berusaha mencari pengganti energi terbarukan agar bisa digunakan oleh para nelayan. Prinsip saya, karya yang kita buat harus sesuai dengan kebutuhan pada saat itu. Ketika itu, biodiesel bisa menjawab masalah kelangkaan bahan bakar yang mengancam kedaulatan energi di masa mendatang,” kata Andi, yang dalam satu bulan bisa meraih omzet sekitar Rp200 juta.
Selain ada kebutuhan akan bahan bakar alternatif, ada pula kebutuhan untuk menyelamatkan lingkungan dari ancaman perubahan iklim.
“Penggunaan biodiesel dari minyak jelantah ini akan menekan jumlah emisi karbon. Di samping itu, jika memanfaatkan jelantah, kita tak perlu mengganti hutan dengan perkebunan kelapa sawit, yang justru berpotensi meningkatkan emisi karbon,” kata Ricky. Disebutkan oleh Hudha, biodiesel berpotensi mengurangi 91,7 persen emisi karbon dibandingkan solar.
2. Jalin jejaring
Andi pernah bergabung dengan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), mencari teman-teman yang memiliki visi serupa.
“Saya bercerita tentang impian saya merintis bisnis biodiesel ini, berharap ada yang mau membangun bersama-sama. Hingga akhirnya saya menemukan teman yang percaya kepada saya,” kata Andi, yang pernah memenangkan kompetisi Ideas for Indonesia dan diberangkatkan ke Inggris untuk belajar di berbagai forum.
Pada forum-forum tersebut ia mendapatkan banyak teman dari luar negeri. Andi mendapatkan banyak insight dari pengalaman teman-teman barunya. Tak sedikit pula teman dari negara asing itu yang kemudian menawarkan berbagai bentuk kerja sama.
Traction Energy Asia sendiri menginisiasi Asosiasi Pengelola Minyak Jelantah. “Tujuannya adalah advokasi kebijakan agar minyak jelantah diatur oleh regulasi. Hampir semua merespons positif. Ke depannya kami akan mengadakan kongres dan deklarasi,” kata Ricky.
3. Kedepankan innovative thinking
Ricky menjelaskan, “Meski amat menjanjikan, bisnis pengolahan jelantah jadi biodiesel masih memiliki banyak tantangan, antara lain dalam teknologi pengolahan dan proses pengumpulan minyak jelantah.”
Andi juga tak terlepas dari tantangan itu. Suatu kali ia kesulitan mendapat jelantah, karena adanya mafia yang mengumpulkan jelantah untuk dipakai ulang. Ia lalu mempelajari model bank sampah.
“Berbekal berbagai analisis, kami membuat bank minyak jelantah RT/RW, yang efektif sampai hari ini. Kami memberi fasilitas, seperti check point dan jerigen, untuk kemudahan masyarakat. Dengan sistem ini, kami mengintegrasi satu kota” kata Andi.
Untuk membuat bank minyak jelantah yang ideal, diperlukan biaya tidak sedikit. Ia lalu mengajak perusahaan besar untuk bekerja sama membuat bank minyak jelantah. Banyak perusahaan besar berskala nasional dan multinasional yang tertarik, karena mereka bisa menerapkan CSR, sekaligus mendapat ruang untuk branding. Ia juga membuat bank sampah di sekitar 20 sekolah, menyasar 500 siswa yang berarti membidik 500 rumah tangga. Setiap tiga hari mereka mengumpulkan segelas jelantah dalam wadah yang bisa dipakai ulang.
“Tabungan jelantah siswa itu hanya bisa dicairkan dalam bentuk program ekstrakurikuler berbasis lingkungan,” kata Andi.
Tantangan lain, menurut Hudha, dari sisi teknis terdapat karakteristik bawaan dari minyak jelantah yang akan sulit memenuhi tuntutan tinggi kualitas biodiesel untuk B30.
“Sedangkan dari dari sisi bisnis, keberadaan minyak jelantah sebagai bahan baku yang tersebar dan tidak terpusat akan menyulitkan membangun pengolahan biodiesel dengan kapasitas yang besar untuk mendapatkan skala keekonomian terbaiknya. Jadi mungkin solusi yang baik adalah bagaimana mendorong pemanfaatan bahan bakar nabati dari minyak jelantah melalui skema niaga langsung ke end user (skema tertutup) di luar dari skema B30 yang berlaku secara nasional.”
4. Jangan bosan mengedukasi
“Minyak goreng yang dipanaskan berulang dan minyak jelantah yang dijernihkan lalu dipakai lagi, berpotensi menimbulkan berbagai macam penyakit, seperti penyakit jantung, ginjal, dan stroke. Berdasarkan penelitian, dari 16,2 juta kiloliter konsumsi minyak jelantah hanya 3 juta kiloliter minyak jelantah yang mampu dikumpulkan di tahun 2019, 2,43 juta kiloliter di antaranya didaur ulang untuk dikonsumsi kembali. Ini bahaya,” kata Ricky, yang memastikan bahwa pengolahan minyak jelantah menjadi biodiesel tidak menghasilkan limbah.
Edukasi soal bahaya minyak goreng daur ulang inilah yang dilakukan oleh Andi dan timnya. “Ketika memasak, sebetulnya hanya 30% minyak goreng yang terserap, sisanya menjadi limbah. Kami mengajak masyarakat menabung minyak jelantah. Nantinya, tabungan minyak jelantah ini ditukar dengan minyak goreng baru.
“Dengan begitu, mereka terbiasa mengonsumsi minyak goreng yang sehat. Di sisi lain, kami juga mendapatkan bahan baku untuk produksi,” kata Andi, yang membuka kesempatan bagi mahasiswa untuk magang dan belajar di perusahaannya.
Andi juga mengedukasi nelayan yang awalnya enggan menggunakan biodiesel karena warnanya berbeda dari solar, sehingga mereka khawatir kapal jadi rusak. Andi memastikan, selain harganya lebih murah daripada solar, biodiesel juga tidak akan merusak mesin kapal.
5. Libatkan masyarakat sekitar
Ricky menyebutkan, sejumlah pengusaha biodiesel di berbagai kota mempekerjakan masyarakat lokal untuk mengolah dan menjual produk olahan jelantah, sehingga ia melihat bahwa usaha ini mampu menyerap banyak tenaga kerja.
Andi, yang membangun bisnis bersama lima teman, merekrut lebih dari dua puluh mantan preman untuk bantu mencari bahan baku.
“Kami mengedukasi mereka tentang bahaya minyak goreng bekas yang disalahgunakan, dan mengajak mereka menjadi agen lingkungan. Mereka pergi ke tukang-tukang gorengan untuk mengumpulkan minyak jelantah agar tidak jatuh ke tangan yang salah. Mereka pun mendapatkan penghasilan yang memadai,” kata Andi, yang membekali mantan preman ini dengan dokumen sebagai bukti bahwa mereka adalah bagian dari GenOil.
Ia juga memberdayakan masyarakat untuk mengumpulkan jelantah dan memberi upah berdasarkan sistem profit sharing. Setiap satu kilogram jelantah, Andi memberi Rp1.000.
“Cara ini menumbuhkan sumber pendapatan baru. Dengan mengintegrasi sistem bank minyak jelantah di satu kota, ada potensi terciptanya 6.000 lapangan kerja baru,” tegasnya.
Artikel ini telah tayang di suara.com dengan judul: “Peluang Usaha Ratusan Juta dari Minyak Jelantah, Ini 5 Kiat Suksesnya“