Pengembangan bioenergi, khususnya pada program biodiesel dan biomassa berpotensi mempengaruhi ketahanan pangan. Hal tersebut disebabkan pengembangan bioenergi dan penyediaan bahan pangan sama-sama membutuhkan lahan.
Survei Jakpat pada 2022 menyebutkan, beras dan minyak goreng masuk dalam tiga besar bahan pangan pokok masyarakat Indonesia. Selain itu, Kementerian Pertanian memproyeksikan sampai 2045, diperlukan 34,4 juta ton beras untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Dibutuhkan setidaknya 11 juta hektare (ha) areal sawah untuk mencapai produksi tersebut.
Di saat yang sama, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) terus meningkatkan campuran biodiesel dari sawit sebagai bahan bakar kendaraan. Per Februari 2023, campuran biodiesel sebesar 35 persen atau B35 mulai diterapkan.
Kajian LPEM UI dengan Greenpeace menyebutkan, Indonesia membutuhkan tambahan lahan sawit seluas 9,3 juta ha jika nantinya pemerintah menerapkan B50.
Selain itu, pemerintah juga tengah mengembangkan co-firing biomass untuk 107 PLTU. Lembaga Trend Asia memproyeksikan, dibutuhkan lahan sebesar 2,3-7,8 juta ha untuk memenuhi kebutuhan 10 persen co-firing biomass ini. Efeknya, Indonesia berisiko kekurangan lahan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan energi secara bersamaan.
Traction Energy Asia dan Trend Asia merekomendasikan sejumlah alternatif kebijakan energi dan pangan berkelanjutan. Di sisi pangan pangan, pemerintah bisa mengembangkan praktik urban farming dan diversifikasi bahan baku pangan. Sementara di sisi energi, pemerintah bisa memanfaatkan minyak jelantah, energi surya, bayu, dan lainnya.
Artikel ini telah tayang di katadata.co.id dengan judul: “Nasib Lahan di Antara Pangan dan Energi”