Oleh: Hartatik
Jakarta – Potensi ketersediaan used cooking oil (UCO) atau minyak jelantah dari rumah tangga dan unit bisnis skala mikro mencapai 1,2 juta kilo liter per tahun, menurut peneliti Traction Energy Asia. Dari jumlah tersebut, asumsinya akan menghasilkan pelengkap bahan baku biodiesel sebesar 954.751 kiloliter atau 10% dari total alokasi pengadaan bahan bakar nabati (BBN) yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri ESDM tahun 2020 sebesar 9.547.506 kiloliter.
“Ada potensi penghematan anggaran pengadaan BBN nasional sebesar Rp 4 triliun, apabila mengalokasikan biodiesel UCO sebesar 10 persen dari total alokasi nasional. Ini bisa terjadi karena UCO adalah limbah dan harganya variatif, sementara belum ada regulasi yang menetapkan harga UCO,” papar Research Manager Traction Energy Asia, Fariz Panghegar, dalam diskusi IDE Katadata 2022 yang bertajuk “Green Circular Economy: Utilizing Used Cooking Oil (UCO) as a Low Emission Feedstock for Sustainable Biofuel” pada Kamis (7/4).
Lebih lanjut, menurutnya, ketika CPO menjadi bahan baku utama biodiesel, justru akan mengakibatkan timbulan emisi yang tinggi. Bahkan, penggunaannya dapat melampaui emisi dari solar konvensional. Hal ini diakibatkan oleh perluasan perkebunan sawit ke hutan dan lahan gambut, serta limbah dari sistem produksi yang tidak berkelanjutan.
Untuk tetap memenuhi kebutuhan biodiesel, UCO sebagai limbah cair dari kegiatan memasak dapat menjadi bahan baku komplementer. Berdasarkan hasil riset Traction Energy Asia, penggunaan UCO sebagai bahan baku biodiesel dapat menurunkan timbulan emisi hingga 49 juta kg CO2 eq. Adapun pemerintah menargetkan penurunan emisi sektor energi 2022 sebesar 91 juta ton CO2.
”Biodiesel dengan campuran CPO dan UCO dapat menurunkan emisi 8 sampai 24 persen dari total target penurunan emisi sektor energi jika persentase biodiesel UCO ditambahkan sebanyak 10-30 persen dalam produksi B30 saat ini,” menurut Fariz.
Sedangkan biodiesel yang terdiri dari masing-masing B30 dari CPO dan B30 dari UCO mampu menurunkan emisi 2,4 sampai 24 persen dari total target penurunan emisi sektor energi jika menambahkan 10 sampai 100 persen bahan baku biodiesel UCO dalam produksi B30.
“Jadi, terkait capaian kebijakan BBN nasional, angka penurunan emisi gas rumah kaca di sektor energi dapat meningkat dengan menambahkan produk berbahan bakar berbasis UCO,” imbuhnya.
Fariz menambahkan, terdapat sejumlah manfaat penggunaan UCO sebagai bahan baku komplementer biodiesel. Selain dapat menghemat anggaran pengadaan BBN nasional mencapai Rp 4 triliun, pemanfaatan UCO juga merupakan kegiatan ekonomi sirkular. Kegiatan ini dapat memberikan penghasilan tambahan bagi unit rumah tangga dan usaha penghasil UCO.
Potensi besar minyak jelantah
Sementara itu, Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Alin Halimatussadiah menyatakan, rumah tangga memiliki peran strategis untuk menyalurkan minyak jelantahnya. Sebab, rumah tangga juga akan merasakan manfaat lingkungan dan kesehatan. Oleh karena itu, Alin menyebutkan bahwa perilaku rumah tangga dalam pengumpulan UCO perlu diantisipasi. Terdapat biaya tertentu yang perlu dikeluarkan untuk mengumpulkan UCO dari kualitas yang bervariasi, titik pengambilan yang beragam, dan kemauan untuk menjual yang berbeda-beda.
“Para pemain perlu memperhatikan berbagai hal terkait perilaku rumah tangga, sistem logistik dan insentif yang akan diberi nantinya,” ujar Alin.
Karena itu, peluang penggunaan UCO sangat besar. Namun masih terkendala ketiadaan regulasi menetapkan UCO sebagai limbah yang dapat menjadi bahan baku komplementer BBN. Di sisi lain, pemerintah tengah melakukan sejumlah upaya. Pemerintah, melalui Kementerian ESDM saat ini mengembangkan BBN berkelanjutan dengan menerapkan Indonesian Bioenergy Sustainability Indicators (IBSI). Di dalamnya terdapat sejumlah indikator terkait lingkungan, sosial, dan ekonomi yang harus dipenuhi pelaku usaha untuk mewujudkan biodiesel berkelanjutan.
Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Edi Wibowo dalam kesempatan yang sama juga menjelaskan bahwa pengaturan insentif untuk biodiesel berbasis UCO memang perlu disempurnakan. Ke depannya perlu ada sinergi penta-helix dari berbagai pihak seperti pemerintah daerah dan pusat, pelaku usaha, badan penelitian dan pengembangan, media, hingga masyarakat. Ia juga menyebutkan terdapat sejumlah regulasi yang perlu disiapkan oleh pemerintah pusat.
“Pemerintah pusat perlu menyiapkan beberapa regulasi terkait kebijakan pemanfaatan UCO untuk biodiesel seperti tata niaga, standar, registrasi, serta setifikasi produsen biodiesel dan insentifnya,” katanya.
Dari sisi pemain, Pertamina kini tengah mengembangkan biorefinery atau kilang hijau yang menjadi strategi mempercepat target bauran EBT nasional pada 2025. Biorefinery merupakan proyek energi bersih Pertamina dengan pengolahan kilang menggunakan bahan baku terbarukan dari minyak sawit, termasuk UCO. Specialist II Renewable Energy Development Research Pertamina, Bayu Prabowo menyebutkan, UCO berpotensi besar menjadi bahan baku komplementer.
Namun, ada sejumlah hal yang perlu dipersiapkan sebelum mengembangkannya. Sebab, pengembangannya membutuhkan rute yang lebih panjang karena ada proses yang perlu ditambahkan, yaitu proses water removal menghilangkan unsur air dari UCO dan esterifikasi. Bayu menyebutkan, hal ini akan berimplikasi ke peningkatan harga karena membutuhkan energi dua kali lipat lebih besar. “Ini bukan untuk menutup peluang, tapi untuk mempertimbangkan aspek yang perlu diantisipasi dan ke depannya akan dikembangkan bersama-sama,” tukasnya.
Artikel ini telah tayang di tanahair.net dengan judul: “Potensi Ketersediaan Minyak Jelantah 1,2 Juta Kiloliter Per Tahun”