Pemerintah terus mendorong penerapan biodiesel sebagai bahan bakar pengganti BBM. Selain menghemat ongkos impor BBM, biodiesel juga diyakini lebih ramah lingkungan.
Saat ini, penerapan biodiesel berada di tahap 30 persen atau pencampuran minyak sawit 30 persen ke BBM solar menjadi biodiesel 30 persen atau B30. Namun, kebijakan ini terus berpotensi menggerus penerimaan devisa negara dari ekspor sawit.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) dalam studinya menemukan program ini memiliki risiko jika kebijakan tidak direncanakan dan dilaksanakan dengan tepat.
Studi yang dirilis oleh LPEM FEB UI bertajuk “Risiko Kebijakan Biodiesel Dari Sudut Pandang Indikator Makroekonomi dan Lingkungan” membahas bagaimana kebijakan biodiesel yang semakin progresif berpotensi menimbulkan tekanan terhadap neraca perdagangan, besaran subsidi atau insentif untuk industri biodiesel dan risiko ekspansi lahan.
Dalam studi ini disebutkan semakin besar tingkat campuran minyak sawit dalam biodiesel memang akan berpotensi menghemat impor solar, tetapi di sisi lain akan menurunkan potensi penerimaan dari ekspor minyak kelapa sawit. Dalam kondisi harga minyak kelapa sawit tinggi relatif terhadap solar, tentunya akan membuat dampak yang kurang baik terhadap neraca perdagangan.
Dari sisi fiskal, kebijakan ini membawa risiko yang semakin besar seiring dengan target campuran dan produksi biodiesel. Hal ini karena insentif yang diberikan kepada industri biodiesel tergantung dari selisih harga minyak sawit untuk biodiesel dengan harga solar, dan adakalanya selisih harga tersebut sangat signifikan, sehingga membuat besaran insentif membengkak.
Dari sisi lingkungan, rencana pemerintah untuk meningkatkan campuran minyak sawit dalam biodiesel membawa risiko ekspansi lahan sawit untuk memenuhi kebutuhan bahan baku biodiesel domestik. Dengan asumsi tren ekspor tetap, tentunya peningkatan campuran dan volume produksi biodiesel akan meningkatkan permintaan minyak sawit domestik.
“Melalui studi ini, kami hanya ingin mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan biodiesel harus memiliki target yang terukur, sehingga tidak berdampak buruk pada lingkungan. Saat biodiesel mulai digunakan secara luas, maka kebutuhan terhadap minyak sawit untuk biodiesel akan meningkat,” Kepala Tim Kajian Ekonomi Lingkungan LPEM FEB UI Alin Halimatussadiah dikutip Senin (13/9).
Alin menjelaskan, studi ini mengestimasi dampak kebijakan biodiesel menggunakan tiga skenario. Skenario pertama mengasumsikan pemerintah menerapkan bauran sebesar B20, skenario kedua B30 dan skenario ketiga
B50. Skenario 1 sampai dengan 3 memperlihatkan kebijakan biodiesel yang semakin progresif, yang terlihat dari tingkat campuran yang semakin besar. Proyeksi dampak skenario dibuat sampai dengan tahun 2025.
Dari hasil analisis estimasi dampak ketiga skenario didapatkan beberapa implikasi sebagai berikut:
- RI Berpotensi Kehilangan Devisa dari Ekspor CPO Rp 782 Triliun
Kelapa sawit merupakan komoditas ekspor unggulan Indonesia. Pada bulan Juli 2020, data Buletin Statistik Perdagangan Internasional Ekspor Indonesia yang diterbitkan oleh BPS menunjukkan bahwa nilai ekspor CPO sepanjang Januari-Juli 2020 mencapai USD 2,7 miliar (setara dengan Rp 38,4 triliun).
Sementara, untuk produk turunannya mencapai USD 6,2 miliar (setara dengan Rp 88,3 triliun).1 Kebijakan biodiesel yang agresif mendorong penggunaan CPO yang semakin banyak di dalam negeri, sehingga dapat berpotensi menurunkan nilai ekspor CPO.
Berdasarkan proyeksi perhitungan LPEM FEB UI, akumulasi potensi kehilangan ekspor CPO terendah mencapai Rp 782 triliun pada periode 2020—2025 yang berasal dari pelaksanaan kebijakan B20 dan untuk proyeksi tertinggi terjadi ketika kebijakan B50 diterapkan, mencapai Rp 1.825 triliun pada periode yang sama.
“Potensi kehilangan ekspor ini selain akan mengganggu kinerja ekspor kelapa sawit, juga menjadi faktor yang harus diperhitungkan dalam melihat kembali jumlah penghematan bersih solar yang ditargetkan pemerintah,” tambah Alin.
Saat kebijakan B20 ini pertama kali diluncurkan, pemerintah memperkirakan penghematan impor solar pada neraca berjalan akan mencapai Rp 79,2 triliun. Akan tetapi, penghematan impor solar yang dilaporkan pada tahun 2019 hanya mencapai Rp 48,9 triliun.
Selain itu, pemerintah memperkirakan penghematan impor solar untuk neraca berjalan di tahun 2020 bisa mencapai Rp 112,8 triliun akibat implementasi B30, namun perkiraan tersebut belum memperhitungkan penurunan potensi ekspor kelapa sawit.
Dari simulasi perhitungan berdasarkan skenario implementasi B30, akumulasi penghematan bersih(netto) dari neraca berjalan yang dapat dicapai pada tahun 2020—2025 adalah sebesar Rp 44 triliun, yang berarti penghematan proyeksi bersihnya lebih rendah dari perkiraan pemerintah (Rp 112,8 triliun).
“Penghematan impor solar yang dinarasikan pemerintah lebih besar dibandingkan dengan hasil proyeksi perhitungan yang kami lakukan pada periode yang sama. Kami mempertimbangkan perhitungan faktor hilangnya potensi ekspor kelapa sawit yang bisa menjadi devisa negara. Menurut kami, faktor ini perlu diperhitungkan pemerintah karena adanya proyeksi keterbatasan pasokan kelapa sawit untuk keperluan domestik,” jelas Alin.
Alin menambahkan, dampak kebijakan biodiesel dalam neraca perdagangan juga sangat ditentukan oleh harga dari CPO dan solar di pasar dunia. Apabila perbedaan harga CPO dengan harga solar semakin jauh, maka nilai ekonomi dari potensi kehilangan ekspor akan semakin tinggi dibandingkan penghematan impor solar. Akibatnya, neraca perdagangan tidak menjadi lebih baik, seperti yang diharapkan sebelumnya,” tambah Alin.
- Potensi Meningkatnya Beban Fiskal
Pengembangan biodiesel saat ini masih tergantung pada insentif yang diberikan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) untuk industri biodiesel. Insentif yang diberikan akan membengkak jika selisih harga FAME dari sawit sebagai input biodiesel lebih tinggi dari harga solar.
Insentif akan lebih besar lagi jika tingkat bauran FAME dalam biodiesel meningkat. Hal ini akan membawa dampak pada beban anggaran BPDP-KS.
Selama ini BPDP-KS mendapatkan dana dari pungutan ekspor CPO. Terdapat beberapa kali perubahan kebijakan pungutan ekspor, dan ada masa di mana BPDP-KS tidak mendapatkan penerimaan karena ketika harga CPO di bawah harga tertentu, tidak dikenai pungutan ekspor.
Hal ini tentunya menjadi risiko keuangan tersendiri bagi BPDP-KS, di mana penerimaan sangat tergantung dari harga ekspor, sedangkan pengeluaran tergantung dari perbedaan harga CPO dengan harga solar. Dengan risiko ekspor yang dapat menurun karena terserap oleh kebutuhan domestik, serta tingkat bauran dan volume produksi yang cenderung meningkat, maka risiko keuangan BPDP-KS akan semakin tertekan.
“Jika anggaran BPDPKS tidak mencukupi untuk memenuhi insentif FAME, maka pengadaannya berpotensi membebani fiskal negara,” tambahnya.
Pada tahun 2020 Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 2,78 triliun dari APBN untuk BPDP-KS, yang menurut BPDP-KS akan digunakan untuk mendukung pengembangan sawit berkelanjutan. Ini merupakan kali pertama pemerintah mengalokasikan anggaran langsung ke BPDP-KS, yang bertepatan dengan tahun pandemi.
Jika saja keuangan BPDP-KS cukup tangguh, menurut Alin, anggaran pemerintah tidak perlu terbebani, karena program sawit berkelanjutan sejatinya merupakan salah satu program BPDP-KS.
- Risiko Ekspansi Lahan Sawit untuk Penuhi Kebutuhan Minyak Sawit Biodiesel
Semakin tinggi bauran FAME dalam biodiesel, maka semakin tinggi pula permintaan akan minyak sawit untuk biodiesel. Berdasarkan proyeksi dari studi, kebutuhan untuk implementasi skenario B50 berpotensi menyebabkan terjadinya pembukaan lahan sawit baru seluas 9,29 juta hektar secara akumulasi hingga 2025. Angka ini setara dengan 70 persen dari luas lahan sawit produktif 2019.
“Kebutuhan minyak sawit untuk biodiesel dikhawatirkan akan mendorong ekspansi lahan ke kawasan dengan nilai karbon yang tinggi atau high conservation value area (HCVA). Ini tentunya perlu dicegah melalui aturan yang kuat. Sebetulnya sudah ada sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), tetapi perlu dilihat lagi penerapannya seperti apa, belum lagi moratorium sawit yang belum ada kepastian akan diperpanjang atau tidak,” kata Alin.
Potensi bahaya yang muncul jika CPO menjadi satu-satunya bahan baku biodiesel. Engagement Unit Manager Traction Energy Asia Ricky Amukti menyoroti bahaya yang mengancam lingkungan jika CPO dijadikan satu-satunya bahan baku biodiesel.
“Kalau biodiesel Indonesia masih single feedstock, ini akan sangat berbahaya bagi lingkungan karena ada kemungkinan terjadinya alih fungsi lahan,” katanya.
Ricky mengatakan, tata kelola perkebunan kelapa sawit di Indonesia juga belum sepenuhnya memenuhi kaidah keberlangsungan lingkungan disokong dari lemahnya transparansi, keterlacakan dan rekam jejak beragam persoalan yang membelenggu baik dari sisi efektivitas terhadap pengurangan emisi, pembukaan lahan, hingga ketenagakerjaan.
“Penggunaan biodiesel memang mengurangi emisi CO2. Namun, jika dihitung dari analisis daur hidup (life cycle) dari sektor hulu (perkebunan sawit) hingga hilir (konsumsi biodiesel), alih fungsi lahan akan menyebabkan emisi CO2 yang jauh lebih tinggi,” kata Ricky.
Untuk diketahui, dari perhitungan yang pernah dilakukan Traction menunjukkan, jika emisi diesel solar fosil itu sebesar 3,14 kg CO2 equivalent per liter, maka alih fungsi dari hutan primer akan menyebabkan emisi hingga 68,61kg/CO2 equivalent per liter atau lebih dari 20 kali lipat dari emisi diesel soal fosil.
Ricky menekankan, pemerintah perlu melihat alternatif bahan baku atau feedstock lain selain sawit, agar ancaman alih fungsi lahan tidak terjadi. Salah satu yang menjadi rekomendasinya adalah pemanfaatan minyak jelantah alias used cooking oil (UCO).
Pihaknya mengatakan, pemanfaatan UCO memiliki peluang untuk menekan emisi yang jauh lebih rendah hingga kisaran 80-90 persen dibandingkan energi yang dihasilkan dari bahan fosil.
Artikel ini telah tayang di kumparan.com dengan judul: “LPEM FEB UI: Biodiesel Bisa Gerus Penerimaan Devisa dari Ekspor Sawit”