Indonesia Surganya Jelantah, Intip Potensinya Bagi Ekonomi

Ilustrasi minyak jelantah.

Jakarta, 9 Januari 2023 (SAHITYA.ID) – Salah satu sumber energi alternatif yang populer adalah Fatty Acid Methyl Ester (FAME) atau yang lebih dikenal sebagai biodiesel. Selain minyak kelapa sawit, FAME juga dapat dibuat dari lemak hewani, minyak nabati, dan bahkan minyak bekas atau jelantah (UCO/Used Cooking Oil).

Melihat potensinya, UCO dapat menjadi pilihan bisnis yang cerah di masa depan. Bagaimana tidak, UCO di Indonesia menawarkan potensi besar. Menurut Riset Traction Energy Asia 2022 tentang potensi UCO sebesar 1,2 juta kilo liter per tahun dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel.

Survei yang dilakukan kepada 438 responden rumah tangga dan 410 usaha mikro di kota besar Jawa-Bali ini menemukan potensi UCO tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel.

Dari jumlah UCO tersebut, biodiesel yang dihasilkan mencapai 955 ribu kilo liter. Hal tersebut dapat mencakup 10 persen dari target pengadaan bahan bakar nabati (BBN) nasional sebesar 9,5 juta kilo liter.

Tak hanya itu, biodiesel berbahan baku UCO ini juga dapat menghemat anggaran pemerintah sebesar Rp4 triliun, jika 10 persen biodiesel diproduksi menggunakan UCO.

Hasil survei Traction Energy Asia ini menemukan bahwa kawasan Jabodetabek merupakan daerah penghasil UCO terbesar dibandingkan tujuh kota lainnya. Adapun Bandung dan Surabaya berada di peringkat kedua dan ketiga.

Sementara Denpasar dan Surakarta menduduki posisi ke empat dan lima. Sedangkan, dua kota penghasil UCO berikutnya adalah Yogyakarta dan Semarang.

Berdasarkan riset tersebut, Traction menemukan satu liter minyak goreng yang digunakan oleh rumah tangga menghasilkan sekitar 0,4 liter UCO. Sementara itu, satu liter minyak goreng yang digunakan usaha mikro menghasilkan 0,32 liter jelantah.

Limbah jenis ini memang memiliki berbagai manfaat. Salah satunya sebagai bahan baku komplementer untuk produksi biodiesel.

Karena biodiesel dapat terurai secara hayati dengan bantuan mikroorganisme lain, tidak beracun, dan dapat menggantikan bahan bakar diesel surya tanpa modifikasi lebih lanjut.

Sejak 2018, pemerintah Indonesia telah mengamanatkan penggunaan biodiesel berbasis minyak kelapa sawit dalam bahan bakar diesel. Implementasi saat ini adalah B35, mengacu pada campuran antara 35 persen FAME dan 70 persen bahan bakar diesel.

Melihat potensinya, UCO dapat menjadi pilihan bisnis yang cerah di masa depan.

Pada 2019, konsumsi minyak kelapa sawit nasional Indonesia mencapai 16,2 juta kilo liter (KL). Dari volume tersebut, sekitar 40% -60% UCO diproduksi, atau setara dengan 6,46-9,72 juta KL, dan hanya 3 juta KL atau 18,5% dari UCO dapat dikumpulkan.

Dari 3 juta KL UCO yang dikumpulkan, hanya 570 KL kecil yang dikonversi menjadi biodiesel, sedangkan 2,4 juta KL sisanya digunakan sebagai minyak goreng daur ulang dan diekspor.

Menurut TNP2K Tim Nasional untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Traction Energy Asia, jumlah konversi rendah karena mekanisme untuk mengumpulkan UCO dari restoran, hotel, dan rumah tangga tidak tersedia.

Tantangan lain termasuk distribusi asimetris lokasi sumber UCO dengan lokasi pabrik pengolahan biodiesel, teknologi pemrosesan yang tidak efisien (terutama pada tanaman yang dikelola oleh masyarakat), dan kualitas biodiesel yang diproses UCO perlu pengujian lebih lanjut.

Pemrosesan UCO untuk biodiesel, terutama bila dilakukan oleh masyarakat, pada kenyataannya akan membawa banyak manfaat ekonomi, kesehatan, dan lingkungan.

Artikel ini telah tayang di sahitya.id dengan judul: “Indonesia Surganya Jelantah, Intip Potensinya Bagi Ekonomi