Kementerian ESDM menyampaikan komoditas minyak jelantah atau used cooking oil (UCO) bisa dimanfaatkan menjadi biodiesel untuk campuran bahan bakar minyak atau BBM pada sektor transportasi maritim dan penerbangan. Namun, minyak jelantah belum bisa digunakan pada kendaraan roda empat dan roda dua atau mobil dan motor.
Direktorat Bioenergi Ditjen EBTKE, Efendi Manurung, menyampaikan bahwa bahan bakar nabati biodiesel hasil olahan dari minyak jelantah sanggup diterapkan pada mesin putaran rendah atau statis seperti pada mesin motor yang terpasang di perahu-perahu milik nelayan hingga genset.
Namun, hasil olahan bahan bakar nabati dari minyak jelantah masih sulit untuk diterapkan pada kendaraan roda empat dan roda dua yang mayoritas memakai mesin putaran menengah maupun puturan tinggi. “Penggunaan biodiesel minyak jelantah pada mesin nelayan oke saja, tapi kalau dilakukan untuk campuran B35 di SPBU masih perlu upaya lebih,” kata Efendi dalam diskusi daring bertajuk ‘Inovasi Transisi Energi dengan Minyak Jelantah’ pada Selasa (28/3).
Sehingga implementasi produksi biodiesel untuk program mandatori B35 seluruhnya berasal dari fatty acid methyl ester (FAME) minyak sawit baru. FAME merupakan minyak nabati turunan dari minyak sawit mentah yang mengandung asam lemak dengan kadar 61%-62%. Karakteristik fisik dari FAME mirip dengan bahan bakar fosil yang punya kandungan fisik mirip dengan diesel konvensional.
Efendi menyampaikan bahwa pemerintah pernah melaksanakan uji mutu pada biodiesel dari olahan minyak jelantah pabrikan Yayasan Lengis Hijau di Bali dan GenOil Makassar. Hasilnya, biodiesel yang diproduksi oleh dua pabrikan tersebut belum memenuhi standar B35.
“Masih perlu mengejar teknologi agar bisa memenuhi persyaratan itu. Saya yakin itu bisa tapi dari segi biaya akan lebih besar untuk memproduksi biodiesel dari minyak jelantah,” ujar Efendi.
Penggunaan biodiesel hasil olahan minyak goreng bekas berpotensi kuat menimulkan korosi pada mesin kendaraan. Selain itu, barang tersebut juga memiliki tingkat beku pada temperatur tinggi sehingga bisa menimbulkan hambatan di saluran bahan bakar kendaraan. “Dari sejumlah parameter masih ada beberapa standar yang belum bisa dipenuhi,” kata Efendi.
Selain untuk perahu nelayan, minyak goreng bekas juga bisa dioleh menjadi bahan bakar nabati untuk BBM transportasi udara lewat produk bioavtur. Bahan campuran bioavtur di Indonesia masih mengacu pada campuran Refined, Bleached, and Deodorized Palm Kernel Oil (RBD PKO) dan kerosin menggunakan katalis merah putih pada produksi bioavtur 2,4 %-v yang disebut dengan J2.4. Jenis bahan bakar ini diproduksi oleh Pertamina melalui Unit Kilang Dumai dan Cilacap.
PT Pertamina juga pernah menguji mutu biodiesel minyak jelantah dengan mengacu pada SK Dirjen EBTKE Nomor 189 tahun 2019. Hasil uji tersebut memperlihatkan bahwa produk biodiesel minyak jelantah belum memenuhi standar yang ditetapkan dalam parameter aman biodiesel. Sejumlah parameter seperti yang tidak lulus berupa parameter titik nyala, residu karbon dan geliserol total.
Selain itu, parameter kestabilan oksidasi, monogliserida hingga kadar air juga melebihi batas maksimal yang ditentukan. Kadar air yang terkandung di dalam biodiesel minyak jelantah berada di kisaran 1.567,6 ppm, jauh lebih tinggi dari toleransi maksimal di angka 350 ppm.
Pertamina juga pernah melaksanakan uji mutu biodiesel minyak jelantah untuk transportasi laut atau marine fuel oil (MFO) yang mengacu pada parameter berdasarkan SK Dirjen Migas Nomor 179 tahun 2019. Hasil pengujian itu menunjukan hasil yang lebih positif.
“Hampir semuanya sesuai dengan spesifikasi. Ini ada potensi bahwa biodiesel minyak jelantah ini dapat dipergunakan sebagai bahan bakar sektor transportasi laut,” kata Peneliti Traction Energy Asia, Refina Muthia.
Artikel ini telah tayang di katadata.co.id dengan judul: “ESDM: Minyak Jelantah Bisa untuk Perahu Nelayan, Bukan Mobil dan Motor”