Emisi yang digadang bisa diturunkan dengan bahan bakar hijau berbasis energi terbarukan akan sulit tercapai jika dilakukan dengan perluasan lahan sawit besar-besaran.
Program biodiesel nasional menjadi salah satu upaya untuk menurunkan emisi karbon di sektor energi, sesuai target Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebesar 91 juta ton CO2 pada tahun 2022. Ini sejalan dengan Nationally Determined Contribution (NDC), turunan dari ratifikasi Perjanjian Paris.
Kementerian ESDM pun dengan demikian meyakini bahwa penggunaan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) sebagai bahan baku utama biodiesel akan efektif menurunkan emisi.
“Untuk saat ini, secara keekonomian dan produktifitas, bahan bakar nabati berbasis sawit adalah yang paling reliable dan rendah emisi,” kata Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE), Edi Wibowo.
Grand Strategi Energi Nasional hingga tahun 2040 berupa pemanfaatan biofuel yang ditargetkan sebesar 15,2 Juta kL. Dari jumlah tersebut biodiesel ditargetkan akan mencapai 11.7 juta kL, kata Edi.
“Sebagian besar berbasis CPO. Termasuk pemanfaatan greenfuels (green diesel, green gasoline, bioavtur), sebagian besar akan berbasis CPO, mengingat potensinya yang sangat besar dan karakteristik bahan bakar nabati yang mirip dengan bahan bakar berbasil fosil,” ujar Edi kepada DW Indonesia.
Edi tidak menampik bahwa pengembangan biodiesel di Indonesia masih mengalami hambatan dan tantangan. Mulai dari ketergantungan pada pungutan dana ekspor untuk menutup selisih harga indeks pasar (HIP) BBM dengan HIP Biodiesel.
Rentan peningkatan emisi
Sementara Research Manager Traction Energy Asia, Fariz Panghegar, mengatakan pemenuhan kebutuhan biodiesel dari CPO malah berpotensi menambah emisi karbon. Ini dapat terjadi akibat adanya peluasan pembukaan lahan hutan, baik pada tanah mineral maupun gambut secara ilegal dan dengan teknik yang tidak tepat, seperti membakar lahan. Penggunaan pupuk secara berlebihan dan praktik pengolahan limbah cair atau palm oil mill effluent (POME) yang tidak tepat di pabrik kelapa sawit juga berpotensi menambah emisi.
“Apabila Indonesia mampu memastikan proses produksi biodiesel dari hulu sampai hilir rendah emisi, tentu B30 akan menjadi program yang sangat efektif untuk menurunkan emisi. Proses produksi rendah emisi yang kami maksud adalah bahan bakunya tidak berasal dari perkebunan yang melakukan deforestasi, dan perkebunan kelapa sawit tidak menggunakan methane capture, serta memastikan rantai pasok yang efisien,” kata Fariz pada DW Indonesia.
Jika dihitung secara konservatif, biodiesel dapat menurunkan emisi sebesar 91 juta ton C02 sesuai rencana Kementerian ESDM. Namun, lanjut Fariz, bila dilihat secara keseluruhan, masih banyak “PR” dari penggunaan biodiesel tersebut.
“Traction menghitung menggunakan metode analisis daur hidup menemukan bahwa biodiesel yang diproduksi dari lahan gambut emisinya akan lebih jauh daripada solar fosil. Apabila emisi solar fosil 3,14 kg CO2eq/liter maka emisi biodiesel bisa sampai 4,60 kg CO2eq/liter. Tentu kita harus memastikan agar tidak ada kebocoran di sektor lahan atau hulunya, maka dari itu kita tidak boleh hanya fokus di hilirnya saja,” paparnya.
Skema subsidi atau insentif?
Bila dilihat dari serapan CPO di pasar domestik, adanya peningkatan permintaan biodiesel akan memengaruhi harga CPO. Idealnya, ini dapat memberikan keuntungan bagi petani sawit. Namun tidak serta merta demikian yang terjadi, kata Fariz, karena yang terjadi adalah perpindahan subsidi.
Edi Wibowo mengatakan pendanaan program B30 tidak menggunakan skema subsidi, melainkan sebagian berasal dari insentif yang didapat dari pungutan ekspor produk sawit dan turunannya. Insentif tersebut diberikan untuk menutupi selisih kurang harga indek pasar (HIP) minyak solar dengan HIP Biodisel. Insentif tidak diberikan jika HIP solar lebih besar HIP biodiesel.
“Sumber pendanaan biodiesel dapat berasal dari APBN, APBD atau sumber pendapatan sah lain yang diatur oleh ketentuan perundang-undangan. Sampai saat ini, pendanaan untuk program B30 masih berasal dari pungutan ekspor sawit, sampai adanya kebijakan atau aturan baru yang mengatur sumber dana lainnya,” ujar Edi Wibowo.
Finalisasi implementasi B40
Ia juga mengatakan bahwa kebijakan wajib 40% biodiesel berbahan sawit (B40) akan berjalan setelah memastikan kualitas mutu B40 tidak berdampak negatif pada mesin kendaraan melalui uji jalan B40. Saat ini, pemerintah masih dalam tahap finalisasi persiapan dan kesepakatan terkait lingkup dan metode uji jalan B40.
“Termasuk rute road test, spesifikasi bahan bakar uji, dan jenis kendaraan uji. Kepastian ketersediaan B40 melalui ketersediaan bahan baku, unit produksi dan infrastruktur pendukung termasuk insentifnya (jika diperlukan),” katanya.
Terpisah, Fariz mengatakan pengguliran B40 masih harus dikaji ulang, baik dari sisi teknologi maupun emisi yang ditimbulkan. Semakin tinggi bauran akan menyebabkan semakin tingginya jumlah gas beracun yang dikeluarkan, yakni nitrogen oksida atau NOx, ujar Fariz.
“Walaupun CO2nya turun, namun NOx akan ikut meningkat, dampaknya dapat menimbulkan gangguan sistem pernapasan. Jadi rasanya tidak perlu kita fokus pada peningkatan bauran biodiesel, mengingat tren otomotif dunia mulai beralih ke kendaraan listrik,” katanya.
Selain itu, lanjut Fariz, Indonesia berpotensi mengalami defisit minyak sawit apabila biodiesel terus digenjot tanpa melihat tata kelolanya. “Masih banyak hambatan secara teknologi dan ketersediaan bahan baku,” lanjutnya.
Potensi alternatif minyak jelantah
Fariz mengatakan, Indonesia memiliki potensi bahan bakar nabati lain yang lebih ramah emisi. Yakni minyak jelantah atau used cooking oil (UCO). Emisi karbon biodiesel dengan bahan baku minyak jelantah lebih rendah daripada emisi karbon yang dihasilkan dari biodiesel dari sawit. Fariz mengutip Royal Academy of Engineering, mengatakan UCO meninggalkan jejak karbon 60% hingga 90% lebih rendah daripada bahan bakar berbasis fosil.
Saat ini kata Fariz, potensi UCO Indonesia kurang lebih 1,2 juta kilo liter dari rumah tangga dan unit usaha mikro. Jumlah tersebut mampu memenuhi 10% kebutuhan bahan baku biodiesel.
“Tentunya apabila kita bisa mengambil UCO dari hotel, restoran, dan cafe serta industri makanan skala menengah dan besar potensinya akan lebih besar lagi. Hal ini juga akan mengurangi risiko pangan versus energi. Hambatannya adalah saat ini kita hanya mengakui CPO sebagai satu-satunya bahan baku biodiesel. Perlu keputusan politik untuk bisa mendorong UCO menjadi salah satu bahan baku biodiesel,” demikian Fariz.
Artikel ini telah tayang di DW.com dengan judul: Untung Rugi Penggunaan Biodiesel Berbahan Dasar Minyak Sawit