Menakar Kelanjutan Peran Biodiesel dalam Transisi Energi

Dalam sebuah konferensi rangkaian Presidensi G20 Indonesia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan bahwa pengembangan biodiesel yang merupakan salah satu sumber Energi Baru dan Terbarukan (EBT) memiliki peran strategis dalam berbagai aspek pembangunan. Salah satunya, berkontribusi dalam aksi perubahan iklim Tanah Air. “Pada 2021, nilai ekonomi dari implementasi B30 mencapai lebih dari US$ 4 miliar dan berhasil menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) hingga 25 juta CO2e,” kata Arifin, mengutip dari laman resmi Kementerian ESDM, Rabu (24/3/22).

Pemerintah menargetkan peningkatan bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) menjadi 23 persen pada 2025 dari 11 persen saat ini. Bersama dengan sektor Forest and Land Use (FoLU), energi menjadi sektor prioritas pemerintah dalam upaya penurunan emisi GRK. Pemerintah mencatat kontribusi sektor energi terhadap emisi GRK mencapai 36 persen.

Dengan demikian, biodiesel menjadi salah satu upaya pemerintah mewujudkan transisi energi. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), biodiesel menyumbang 4,1 persen dari total 11,7 persen bauran EBT nasional.

Meski berperan dalam transisi energi, terdapat sejumlah hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan bahan bakar nabati ini. Penyebabnya, pengembangan biodiesel dapat memunculkan sejumlah risiko jika tidak dikelola secara keberlanjutan. Hal ini justru akan kontradiktif dengan upaya Indonesia dalam menurunkan emisi GRK serta memberi sejumlah dampak negatif dari sisi lingkungan maupun sosial dan ekonomi.

Ilustrasi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif (kanan) dalam sebuah rapat (22/3/21). Credit: ANTARA FOTO/Aprilio Akbar.

Menyoal Biodiesel sebagai Energi Bersih

Pemerintah mencanangkan program mandatori biodiesel dengan campuran sawit sejak 2008. Bermula dengan kadar campuran 2,5 persen, kini persentase campuran biodiesel telah mencapai 30 persen. Meski demikian, pemanfaatan biodiesel dengan campuran crude palm oil (CPO) yang telah dibentuk menjadi Fatty Acid Methyl Ester (FAME) tersebut memicu kekhawatiran sejumlah pihak.

Salah satu pihak yang menyoroti risiko pengembangan biodiesel berbasis sawit adalah Traction Energy Asia. Lembaga independen yang berfokus pada kajian energi ini menyatakan biodiesel memang berperan sebagai langkah awal Indonesia beralih dari energi fosil ke Energi Baru dan Terbarukan (EBT), khususnya di sektor transportasi. Namun, mengingat berbagai risiko yang mungkin muncul, Traction menilai peran biodiesel di masa depan perlu dipertimbangkan.

“Walau perannya mengecil, biodiesel pasti akan tetap dibutuhkan di masa depan untuk mengurangi bauran emisi,” kata Manajer Riset Traction Energi Asia Fariz Panghegar kepada Katadata, Kamis (21/4/22).

Fariz menyebutkan, biodiesel masih berperan dalam kendaraan atau alat berat yang bahan bakarnya tidak dapat digantikan tenaga listrik seperti genset, kapal, pesawat, hingga truk. Sebab, kebutuhan tenaga listrik untuk sektor energi akan semakin meningkat seiring berkembangnya teknologi kendaraan listrik.

Meski begitu, emisi yang dihasilkan biodiesel berbasis CPO cukup besar. Fariz menjelaskan, emisi biodiesel sudah dihasilkan sejak fase perkebunan sawit. Sumber emisi itu berasal dari proses alih fungsi lahan, pembibitan, pemupukan, penggunaan BBM untuk kendaraan pengangkut, hingga penggunaan listrik.

“Sumber emisi dari tahap perkebunan CPO adalah sekitar 80-94 persen, khususnya jika dibuka di lahan gambut,” ujar Fariz.

Peneliti Yayasan Madani Berkelanjutan, Arief Virgy juga menyebutkan ada sejumlah risiko yang dihadapi jika produktivitas CPO sebagai bahan baku utama biodiesel masih rendah. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan CPO yang tidak hanya dialokasikan untuk biodiesel, melainkan juga untuk sektor lain.

“Adanya risiko yang ditimbulkan justru jadi kontradiktif dengan upaya penurunan GRK nasional,” ungkap Virgy kepada Katadata, Senin (18/4/22).

Madani Berkelanjutan menyebutkan terdapat risiko lingkungan berupa pembebasan lahan yang dapat mengakibatkan deforestasi dan degradasi lahan. Berdasarkan analisis Madani Berkelanjutan, hanya 1,16 juta ha lahan yang masuk ke dalam kategori berkelanjutan.

Hal itu berdasarkan sejumlah aspek seperti ekologi, potensi konflik, dan fokus tutupan lahan yang dapat dioptimalkan. Adapun, luas izin atau usaha sawit yang terdata Madani Berkelanjutan saat ini sebesar 22,21 juta ha.

Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam laporannya yang berjudul “Critical Review on The Biofuel Development Policy in Indonesia” menyebutkan salah satu faktor terjadinya deforestasi adalah defisit lahan.

IESR mengutip temuan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) yang menyebutkan kebutuhan lahan produktif untuk pengembangan B30 pada 2020 diproyeksikan mencapai 18,6 juta ha pada 2025. Padahal, lahan perkebunan sawit di Indonesia hanya sebesar 16,4 juta ha pada 2019.

Traction Energy Asia juga menyebutkan adanya risiko sosial yang dapat terjadi jika CPO diintensifkan menjadi bahan baku utama biodiesel. Sebab, risiko tarik menarik kepentingan antara sektor energi dan pangan dalam penggunaan CPO dapat terjadi.

“Dampaknya bisa ke mana-mana, dari ketahanan pangan dan penggerak ekonominya itu sendiri,” kata Fariz.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengingatkan pemerintah perlu melihat tujuan awal pengembangan biodiesel. Fabby menyebutkan terdapat dua pilihan, yaitu apakah biodiesel hanya sebagai substitusi energi atau sekaligus menekan emisi.

“Jika memang untuk menekan emisi, pengembangannya perlu memperhatikan aspek-aspek berkelanjutan agar risikonya tidak muncul,” kata dia kepada Katadata, Kamis (28/4/22).

Fabby menyebutkan aspek berkelanjutan berhubungan dengan sumber dan jenis feedstock-nya. Ia mencontohkan, CPO yang ditanam di kebun yang sudah ada, emisinya akan lebih rendah dibanding kebun hasil pembukaan lahan.

Oleh karena itu, Fabby menyimpulkan bahwa tracing atau pelacakan asal-muasal feedstock penting dilakukan. Direktur Eksekutif IESR ini juga mengatakan mekanisme tersebut perlu diperkuat dalam sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Selain itu, Pertamina sebagai offtaker perlu berperan dalam menerapkan standar dalam menerima CPO yang akan diolah dengan emisi yang rendah.

“Ini perlu menjadi aturan dalam ISPO,” katanya.

Menurut Madani Berkelanjutan, terdapat sejumlah hal yang perlu diperhatikan agar pengembangan sawit sebagai bahan baku biodiesel di Indonesia tetap berkelanjutan. Melihat persoalan yang ada, Virgy menyebutkan bahwa kunci utamanya memperbaiki tata kelola pengembangan biodiesel dari hulu ke hilir.

Beberapa di antaranya meningkatkan ISPO, khususnya bagi petani swadaya, hingga menyelesaikan tumpang tindih perizinan sawit dengan yang lainnya.

“Pengembangan biodiesel juga jangan hanya mempertimbangkan blending, tapi juga jejak karbon dan intensitas karbonnya,” kata Virgy.

Agenda Pemerintah Mewujudkan Biodiesel Berkelanjutan

Dalam pertemuannya dengan Pimpinan World Bank, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyampaikan komitmen Indonesia untuk mencapai 23 persen EBT pada bauran energi 2025.

Sebagai bentuk keseriusan, pemerintah juga membuat peta jalan menuju Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Targetnya, pembangkit listrik akan didominasi oleh Variable New Energy (VRE) dalam bentuk tenaga surya, angin, dan arus laut pada tahun berikutnya.

Hidrogen juga akan dimanfaatkan secara berkala sejak 2031 dan dimaksimalkan pada 2051. Di pertemuan tersebut, Arifin juga menjabarkan pemanfaatan biofuel yang sudah mencapai 11,6 juta kiloliter (kl).

Selain peta jalan menuju NZE, sebelumnya Indonesia juga memiliki Peraturan Pemerintah (PP) 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) sebagai pengganti Peraturan Presiden (Perpres) 5/2006. PP tersebut mengatur target penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN) yang menjadi bagian dari bioenergi.

Terdapat aturan mengenai target bauran energi, berupa kontribusi energi terbarukan sebesar 23 persen dengan biofuel sebanyak 4,7 persen pada 2025. Lalu, target ditingkatkan paling sedikit 31 persen pada 2050 ketika nilai ekonominya terpenuhi.

Sejak 2008, pemerintah pertama kali melakukan mandatori biodiesel dengan kadar campuran sebesar 2,5 persen. Seiring berjalannya waktu, persentase campurannya terus meningkat. B15 pada 2015, B20 pada 2015 sampai 2018, B30 pada 2020, dan 2021 ditargetkan menjadi B50. Namun, hingga 2022, persentase campurannya masih sebesar B30.

Untuk mengedepankan aspek keberlanjutan dalam biodiesel, Kementerian ESDM tengah membentuk sertifikasi Indonesia Bioenergy Sustainable Indicator (IBSI). Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Edi Wibowo menyebutkan IBSI bertujuan untuk memastikan aspek keberlanjutan di hilir, dari proses produksi hingga pemanfaatan biodiesel.

“Sertifikasi IBSI nantinya dapat memberi nilai tambah bagi pelaku usaha, sehingga produk dapat diekspor sekaligus mendapat insentif dari penurunan karbon,” kata Edi kepada Katadata, Jumat (20/5/22).

Terdapat sejumlah indikator penting dalam sertifikasi IBSI. Pertama, memastikan sisi keberlanjutan lingkungan dalam siklus penanaman sawit. Kedua, memastikan pengelolaan limbah di tanah, udara, air, dan lainnya. Ketiga, terkait aspek sosial dengan memastikan tercukupinya pendapatan petani.

Selain itu, IBSI juga mengatur agar biodiesel berkontribusi meningkatkan lapangan kerja di dalam dan luar perkebunan. Keempat, memudahkan akses energi bersih. Kelima, mendorong peningkatan produktivitas, penambahan nilai, infrastruktur, logistik, hingga distribusi.

Edi menjelaskan alasan biodiesel menjadi pilihan menuju transisi energi. Berdasarkan perhitungan pemerintah, biodiesel mampu mengurangi emisi GRK mencapai 24,6 juta ton CO2 ton pada 2021. Perhitungan ini berdasarkan perbandingan penggunaan fosil sebagai bahan bakar minyak.

Dari segi sosial, Edi menambahkan bahwa masyarakat dapat merasakan manfaat inovasi bahan bakar bersih dengan harga terjangkau berkat adanya subsidi. Selain itu, kesejahteraan petani akan meningkat karena produknya dibeli untuk bahan baku biodiesel.

Pada 2021, biodiesel menyumbang 4,1 persen dari total 11,7 persen bauran EBT nasional. Adapun pemanfaatan biodiesel untuk domestik mencapai 9,3 juta kl dan peningkatan nilai tambah CPO mencapai Rp 11,3 triliun. Dari segi ekonomi, devisa yang berhasil dihemat senilai Rp 66,54 triliun.

Di masa depan, pemerintah memproyeksikan peran biodiesel akan semakin kecil dengan pemanfaatan energi listrik yang semakin besar. Meski demikian, Direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM Luh Nyoman Puspa Dewi menyebutkan bahwa diperkirakan biodiesel masih memiliki peran di Indonesia sampai 2060.

“Sampai saat ini biodiesel masih punya peran dalam peralihan ke energi listrik, khususnya di sektor transportasi,” kata Dewi kepada Katadata, Kamis (12/5/22).

Jika melihat proyeksi ke depan, Dewi menyebutkan energi bersih akan semakin variatif. Hal ini didorong semakin majunya perkembangan teknologi. Tak hanya itu, eksplorasi pengembangan energi hingga ke desa-desa juga membuka beragam peluang pengembangan EBT di Tanah Air.

“Sehingga, pengembangan energi bersih di Indonesia itu sebetulnya tidak hanya fokus ke satu sektor saja,” katanya.

Pemerintah juga tidak menutup kemungkinan pengembangan biodiesel generasi selanjutnya seperti generasi kedua berupa selulosa, UCO, limbah pertanian dan kehutanan, serta generasi ketiga seperti alga. Sebab, Edi menyebutkan bahwa ke depannya biodiesel perlu menggunakan bahan baku lainnya selain CPO.

Kementerian ESDM saat ini tengah bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta lembaga lainnya dalam pengembangan UCO sebagai bahan baku komplementer untuk biodiesel. Edi menceritakan saat ini sedang menuju tahap proyek percontohan.

“Kami menargetkan risetnya akan selesai di 2023 atau 2024,” kata dia.

Biodiesel sebagai Jembatan Menuju Energi Bersih

Transportasi menjadi salah satu subsektor yang berperan besar dalam menekan emisi pada sektor energi. Biodiesel dinilai memiliki peran strategis untuk menjebatani transisi ke energi bersih.

Traction Energi Asia berpendapat, penggunaan biodiesel sebagai campuran bahan bakar solar menjadi langkah awal yang baik dalam upaya pemanfaatan bahan bakar nabati untuk menggantikan bahan bakar minyak (BBM)

Solar polutannya lebih banyak, sementara biodiesel penting untuk menurunkan emisi diesel yang banyak dipakai untuk kegiatan ekonomi. “Mulai dari alat angkut, alat berat, mesin industri, semua pakai solar itu,” terang Manager Riset Traction Energi Asia Fariz Panghegar kepada Katadata, Kamis (21/4/22).

Implementasi pencampuran biodiesel 30 persen (B30) juga berkontribusi pada rencana transisi energi nasional. Dalam rencana bauran energi nasional, energi fosil akan perlahan digantikan oleh energi baru terbarukan (EBT).

Sejauh ini, bauran EBT sudah mencapai 11,5 persen dari total bauran energi primer. Dari angka tersebut, biodiesel menyumbang 35 persen dari total bauran energi terbarukan.

Soal pemanfaatan campuran biodiesel, Indonesia memang terbilang progresif. Di dunia saat ini hanya hanya Indonesia yang menerapkan blending alias pencampuran biodiesel dengan solar sampai 30 persen.

“Negara lain paling hanya 7,5 persen. Kenapa? Karena ada efek samping dari penggunaan campuran persentase tinggi itu,” ujar Fariz. Ia menjelaskan bahwa akan ada dampak pada komponen filter solar di kendaraan yang menjadi perlu lebih sering diganti, dua kali lebih cepat.

Hal ini tentu akan berpengaruh dengan penambahan biaya perawatan kendaraan. Dia berpendapat blending 30 persen ini sudah sangat maksimal dan tidak feasible untuk menambah campuran. “Jangan sampai biodiesel itu tidak bisa dipakai dan nantinya hanya untuk mesin kecepatan rendah dan tidak bisa masuk transportasi darat lagi,” ujar dia menambahkan.

Fariz menjelaskan, pengembangan diversifikasi bahan baku lebih penting dilakukan daripada fokus pada peningkatan campuran biodiesel. Dengan demikian, produksi biodiesel tidak bergantung hanya dengan satu sumber saja.

Selain itu, terdapat tiga generasi teknologi biodiesel. Biodiesel generasi pertama memanfaatkan budidaya tanaman ataupun produk pangan. Generasi kedua memanfaatkan limbah serta produk samping atau produk non-tanaman pangan. Kemudian generasi ketiga memanfaatkan alga.

 

Sejauh ini Indonesia masih berada di generasi pertama, bahkan bergantung pada satu komoditas, crude palm oil (CPO) alias minyak sawit.

Pemanfaatan sumber komplementer biodiesel generasi 2 yang menurut Traction bisa dipertimbangkan untuk segara dimanfaatkan adalah minyak jelantah (used cooking oil, UCO). Menurut Fariz sejauh ini pun UCO sudah masuk tahap yang lebih efisien.

“Pengalaman teman-teman, 1 kg minyak jelantah itu sekitar 1,1 liter, dikonversi menjadi biodiesel sekitar 1 liter, berarti sekitar 90 persen tingkat konversinya. Itu sudah efisien secara teknik dan hitungan ekonomi masuk akal,” terang dia lagi.

Dari studi yang dilakukan Traction Energy Asia, pengumpulan jelantah dari rumah tangga bisa mencapai 1,2 juta kiloliter(kl)/tahun. Angkanya tidak berbeda jauh dengan hitungan Badan Pusat Statistik yang mencatat angka 1,6 juta kl/tahun.

“Kalau melihat alokasi pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN) 2020, itu cukup memenuhi 10 persennya. Itu baru dari rumah tangga, belum ke UMKM dan perusahaan besar ataupun hotel, dan restoran,” ujar Fariz.

Fariz menuturkan, pemerintah berperan penting dalam membuat kebijakan implementasi biodiesel UCO di lapangan. Rantainya pun cukup panjang, mulai dari pendefinisian UCO sebagai limbah, pembentukan tata kelola niaga UCO, penataan alur pasokan dan penetapan harga, hingga pembentukan insentif dan proses pemanfaatan.

Selain itu biodiesel dari jelantah juga disebut menghasilkan emisi lebih rendah dibanding emisi biodiesel dengan bahan baku CPO. Hal ini juga menjadi salah satu kesimpulan dari studi Traction Energy Asia.

Dari studi tersebut dijelaskan, semakin besar campuran UCO untuk biodiesel, semakin kecil timbulan emisinya. Dalam skema B30 yang bahan bakunya semua dari CPO timbulan emisi mencapai 70,88 juta ton CO2e. Sementara dengan campuran 10 persen UCO sebagai bahan baku, emisi yang dihasilkan sebesar 69 juta ton CO2e. Timbulan emisi terus menurun, sampai 48,9 juta ton CO2e jika menggunakan bahan baku UCO sepenuhnya.

Alokasi biodiesel UCO untuk memenuhi kebutuhan nasional, sebesar 10 persen hingga 30 persen dapat menekan timbulan emisi sampai 24 persen dari total target penurunan emisi sektor energi tahun 2022.

Pertamina, sebagai offtaker produk biodiesel mengidentifikasi sejumlah permasalahan teknis yang ada. Senior Specialist New and Renewable Energy Research PT Pertamina Bayu Prabowo menjelaskan, dengan kualitas minyak jelantah yang ada di Indonesia, produk campuran biodiesel yang dihasilkan akan lebih rendah kualitas dan jumlahnya.

“Rantai (proses)nya akan lebih panjang untuk menghasilkan campuran biodiesel yang setara dengan fatty acid methyl esters (FAME) dari CPO,” kata Bayu mengungkapkan.

Ada dua proses yang harus ditambahakan, water removal dan esterifikasi. Kedua proses tersebut akan menambah kebutuhan energi sekitar 1,8x dibandingkan produksi FAME dari CPO.

“Ini bukan menutup peluang, tapi harus kita antisipasi dan kembangkan bersama,” ujarnya lagi. Dia tetap meyakini bahwa penggunaan UCO sebagai bahan baku komplementer biodiesel juga memiliki potensi yang besar di Indonesia. Namun, dampak terhadap proses juga tetap harus diperhatikan.

Penambahan proses merupakan salah satu alternatif. Opsi lainnya adalah dengan menggunakan biodiesel dari UCO untuk sektor selain kendaraan darat, seperti mesin dan kapal laut, atau memanfaatkan UCO untuk proses lain, seperti produksi Green Diesel (D-100).

D100 ini merupakan produk turunan lain dari bahan baku biodiesel. Bahan bakar nabati atau BBN itu merupakan hasil pengolahan refined, bleached, and deodorized palm oil (RBDPO). Produknya 100 persen berasal dari minyak sawit mentah atau CPO serta bahan baku generasi dua.

 

 

Diproyeksikan, campuran D100 dapat digunakan untuk pengembangan B30 berikutnya, untuk menggantikan campuran diesel murni. Hal tersebut mengingat campuran biodiesel yang sulit ditingkatkan lagi. Alhasil nantinya pengembangan biodiesel, salah satu contohnya akan terdiri atas campuran B30 (30 persen FAME), D100 (20 persen), dan solar (50 persen).

Tidak berhenti di situ, teknologi green diesel juga sedang dikembangkan Pertamina untuk produk green avtur, untuk bahan bakar pesawat terbang dan green gasoline, sebagai pengganti bensin.

Singkatnya, green diesel ini merupakan produk kelanjutan biodiesel yang menghasilkan BBN dengan kualitas lebih baik dan pemanfaatan bahan baku yang juga lebih maksimal. Bahkan menurut Bayu kualitasnya setara dengan BBM untuk mesin Diesel. “Jadi kalau mau B100, mau tidak mau harus menggunakan green diesel,” ujarnya.

Namun, Bayu juga menyoroti kendala pemanfaatan D100 untuk skala komersial ada pada aspek keekonomian. Harga bahan baku yang tinggi dibanding minyak solar, ditambah biaya proses yang juga tidak murah membuat biaya produksi masih di atas Rp 17 ribu/liter. Lebih tinggi dibanding biodiesel yang berada di kisaran Rp 13 ribusetelah mendapat suntikan subsidi.

Menurut Bayu, solusi jangka pendek yang mungkin diterapkan untuk green diesel yakni dengan mengekspor sebagian hasil green diesel ke pasar Eropa yang berani membayar mahal untuk produk seperti ini. Selanjutnya, pajak ekspor dapat digunakan untuk subsidi bagi penggunaan green diesel dalam negeri.

Meski saat ini berperan sebagai sumber energi pendukung transisi menuju EBT, pengembangan biodiesel harus memastikan terjaminnya faktor keberlanjutan. Terutama dari sisi keseimbangan lingkungan dan emisi yang ditimbulkan.

Dengan kondisi saat ini yang masih bergantung sepenuhnya pada komoditas sawit, pemanfaatan lahan harus mendapat perhatian.

“Biodiesel emisi tetap besar karena dia menggunakan tanaman budidaya sebagai basisnya. Itu membutuhkan lahan dalam skala besar,” ujar Fariz mewakili Traction.

Dia menambahkan, jika tidak memanfaatkan bahan baku komplementer dari limbah (generasi dua) ataupun alga (generasi tiga), nantinya akan muncul kecenderungan untuk terus memperluas kebun sawit yang berisiko merambah ke kawasan konservasi.

 

“Inti dari penurunan gas rumah kaca (GRK) itu berusaha menjaga kawasan konservasi agar tidak diganggu, sambil menurunkan timbulan emisi di perkebunan dan sektor energi,” kata Fariz. ”Jangan sampai menurunkan GRK sektor energi, tapi kemudian bikin kebobolan di sektor lainnya.”

Dalam kapasitasnya sebagai peneliti, Bayu juga punya anggapan yang serupa. Menurut dia perhitungan pengurangan karbon dari biodiesel tidak bisa dilakukan hanya melihat dari emisi kendaraan saja. Mulai dari proses pembukaan lahan, proses perkebunan, sampai pengolahan menjadi biodiesel, dan transportasi juga perlu diperhitungkan.

“Biodiesel bisa jadi energi bersih di masa depan kalau lifecycle production dilakukan secara bertanggung jawab. Dalam artian (biodiesel) dari lahan yang bukan memiliki carbon intensity tinggi,” ujar dia menjelaskan.

Sementara Madani Berkelanjutan beranggapan tata kelola sawit perlu mendapat perhatian jika program biodiesel ingin terus dikembangkan. Pemanfaatan CPO yang tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan energi, tapi juga pangan, dan oleokimia. Kondisi itu akan mendorong terjadinya pembukaan lahan jika tidak ada inisiatif untuk memacu produktivitas.

Berbagai pihak termasuk pemerintah, CSO, maupun Pertamina menyatakan biodiesel akan tetap berperan sebagai sumber energi di Tanah Air. Meski ke depannya transisi akan lebih banyak diarahkan ke listrik, biodiesel saat ini berkontribusi memenuhi kebutuhan energi yang belum dapat diisi oleh listrik.

Artikel ini telah tayang di Katadata.co.id dengan judul: “Menakar Kelanjutan Peran Biodiesel dalam Transisi Energi – Analisis Data Katadata”