You are currently viewing Membangun Masa Depan Berkelanjutan: Kolaborasi Strategis untuk Pengentasan Kemiskinan di Indonesia

Membangun Masa Depan Berkelanjutan: Kolaborasi Strategis untuk Pengentasan Kemiskinan di Indonesia

 

Halaman sampul video ajar yang segera tayang di E-Learning Traction Energy Asia.

“Kemiskinan adalah masalah multidimensi yang tidak bisa diatasi dengan pendekatan satu dimensi. Diperlukan sinergi kebijakan dan kolaborasi antar berbagai pemangku kepentingan untuk menciptakan perubahan nyata”, – Sarman Simanjorang M.Si, Direktur Eksekutif APKASI.

Jakarta, 8 November 2024 – Indonesia sedang menghadapi tantangan yang semakin kompleks dalam mencapai pembangunan berkelanjutan sekaligus menanggulangi kemiskinan di seluruh pelosok negeri. Untuk mengatasi tantangan ini, Traction Energy Asia bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam upaya memperkuat strategi penanggulangan kemiskinan dan pembangunan yang berkelanjutan.

Pada Jumat, 8 November 2024, Traction Energy Asia bersama Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) menyelenggarakan bimbingan teknis (bimtek) secara daring tentang penyusunan Rencana Penanggulangan Kemiskinan Daerah (RPKD). Kegiatan ini bertujuan untuk membekali pemerintah daerah dengan pengetahuan dan strategi yang diperlukan untuk menyusun perencanaan yang efektif dan tepat sasaran. Lebih dari 180 peserta yang berasal dari kurang lebih 40 kabupaten di penjuru Indonesia antusias mengikuti seluruh rangkaian kegiatan. 

Kegiatan ini juga dihadiri oleh Direktur Eksekutif APKASI, Sarman Simanjorang M.Si, dan Kasubdit Sosial dan Budaya SUPD III, Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah (Bina Bangda) Kementerian Dalam Negeri, Wahyu Suharto S.E., M.P.A. Dalam sambutannya, Sarman Simanjorang M.Si menekankan bahwa kemiskinan masih menjadi isu krusial Indonesia, terutama di kabupaten-kabupaten yang memiliki keterbatasan akses, infrastruktur, dan geografis tertentu. Isu kemiskinan di tingkat kabupaten seringkali bersifat multidimensi, mulai dari ekonomi, kesehatan, pendidikan dan akses terhadap pelayanan dasar. Di satu sisi, mengatasi kemiskinan merupakan amanat konstitusi yang tertera dalam UUD 1945 untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam sambutannya, Wahyu Suharto S.E., M.P.A. menekankan bahwa tindak lanjut pengentasan kemiskinan secara nasional memerlukan adanya penguatan tata kerja dan penyelarasan kerja, serta pembinaan kelembagaan dan sumber daya manusia (SDM) Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Hal ini diatur lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri dan disusun ke dalam dokumen RPKD, serta rencana aksi di bidang penanggulangan kemiskinan. Beliau menerangkan, dokumen RPKD yang telah difinalisasi dapat dilegalkan dalam bentuk apa saja, seperti peraturan gubernur (Pergub), peraturan kepala daerah (Perkada), dan regulasi lain yang relevan. Namun, peraturan daerah (Perda) lebih baik karena memiliki kekuatan legal yang tinggi. Peserta bimtek juga dapat berkonsultasi dengan SUPD III mengenai penyusunan RPKD.

 

Sebagian dari 180 peserta dari 40 daerah di Indonesia bergabung secara daring.

 

Komitmen Nasional terhadap Pengentasan Kemiskinan

Wahyu Suharto, selaku Kasubdit Sosial dan Budaya SUPD III, dalam sambutannya juga menekankan tentang pentingnya pengentasan kemiskinan sebagai komitmen nasional melalui Rencana Pembangunan Menengah Nasional (RPJMN) Teknokratik. Hal ini menjadi prioritas dikarenakan baru 9 (sembilan) dari 38 (tiga puluh delapan) provinsi di Indonesia yang sudah mencapai target angka kemiskinan 4,5-5%, sementara 29 (dua puluh sembilan) provinsi masih perlu menurunkan angka kemiskinan sesuai target. Oleh karena itu, diperlukan komitmen serta sinergi dari pemerintah pusat dan daerah untuk dapat mencapai target tersebut.

Dalam sesi diskusi, Dr. Gregorius Irwan Suryanto dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) memaparkan bahwa salah satu amanat Presiden Prabowo adalah untuk menurunkan angka kemiskinan melalui percepatan pembangunan. Upaya ini tidak hanya membutuhkan komitmen dari pemerintah pusat, tetapi juga dukungan kuat dari pemerintah daerah untuk mencapai target tersebut. 

Pentingnya kebijakan penguatan kelembagaan, seperti yang disarankan oleh Dr. Irwan, menjadi sangat relevan. Salah satu langkah konkret yang diusulkan adalah penguatan kelembagaan melalui TKPK, yang dapat meningkatkan efektivitas orkestrasi program-program pengentasan kemiskinan. Dengan melibatkan berbagai elemen, termasuk pemilik usaha, perwakilan masyarakat, dan akademisi dalam TKPK, keputusan yang diambil diharapkan lebih inklusif dan memperhatikan berbagai perspektif yang ada di masyarakat. Hal ini akan memperkuat komitmen bersama dan memberikan dasar yang lebih kuat bagi kebijakan yang diambil.

Secara keseluruhan, adanya kebijakan dan kelembagaan yang kuat, dukungan dan partisipasi aktif dari berbagai pihak, baik pemerintah, sektor swasta, akademisi, maupun masyarakat, sangat diperlukan untuk mempercepat pengentasan kemiskinan di Indonesia. Koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah, serta penguatan kelembagaan pengentasan kemiskinan adalah kunci untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif.

 

Visualisasi asal peserta yang mengikuti bimbingan teknis dari seluruh penjuru Nusantara.

 

Pemanfaatan Data Kemiskinan

Kegiatan bimtek ini juga menyoroti pentingnya penggunaan data makro dan mikro untuk mengidentifikasi determinan kemiskinan di tingkat daerah. Data sektoral dari setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) sangat penting untuk memastikan kebijakan yang dibuat benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. “Penggunaan data yang terperinci dan terkini dapat membantu pemerintah daerah dalam menyusun strategi yang lebih tepat sasaran dan efektif,” ungkap Dr. Irwan.

Dalam penyusunannya, dokumen RPKD membutuhkan informasi yang hanya bisa didapatkan melalui identifikasi yang komprehensif di daerah tersebut. Adapun data-data penting yang relevan akan dituangkan menjadi isu prioritas kemiskinan, kondisi geografis, demografis, dan akses ke pelayanan publik, serta kondisi kemiskinan daerah di dalam dokumen RPKD. Data yang dibutuhkan untuk menyusun dokumen RPKD dapat diperoleh melalui Indikator Kinerja Utama (IKU) 5 tahun terakhir yang ada di Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD), Dinas Tenaga Kerja, Dinas Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), dan Dinas Perumahan dan Permukiman.

 

Suasana di balik layar untuk menyajikan proses bimbingan teknis yang komprehensif dan berkualitas.

 

Memahami dan Menargetkan Segmen Kemiskinan

Dalam sesi tanya jawab, peserta dari berbagai daerah bertanya tentang pendekatan terbaik dalam menentukan prioritas intervensi. Dr. Irwan, selaku narasumber, menekankan pentingnya pemahaman kategori desil dalam masyarakat, terutama desil 1 sebagai kelompok yang paling rentan dengan tingkat kemiskinan tertinggi. Kelompok ini merupakan masyarakat yang disebut dengan fakir miskin atau miskin struktural. Desil 1 merupakan kelompok terendah dalam pembagian distribusi pendapatan atau konsumsi masyarakat berdasarkan urutan dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Secara lebih spesifik, desil 1 mencakup 10% orang dengan pendapatan atau konsumsi terendah dalam suatu populasi. Jika Desil 1 telah menjadi sasaran program secara menyeluruh, maka pemerintah daerah dapat melanjutkan prioritas untuk kelompok desil 2, 3, dan 4.

Prioritas intervensi untuk mengatasi kemiskinan pada kelompok desil 1 difokuskan melalui 3 (tiga) skema utama. Pertama, pengurangan beban pengeluaran, yang bertujuan meringankan biaya hidup masyarakat miskin. Program yang termasuk dalam skema ini antara lain Bantuan Sosial (Bansos), Program Keluarga Harapan (PKH), Jaminan Sosial, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan subsidi-subsidi lainnya yang dapat membantu menurunkan pengeluaran rumah tangga miskin.

Skema kedua adalah peningkatan pendapatan, yang bertujuan untuk meningkatkan daya beli masyarakat miskin. Program-program yang dapat mendukung peningkatan pendapatan ini termasuk pemberdayaan komunitas atau UMKM, keuangan inklusif untuk mempermudah akses masyarakat terhadap layanan keuangan, transfer aset seperti pemberian modal usaha atau barang yang dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas, serta peningkatan akses terhadap pekerjaan yang layak.

Skema ketiga adalah meminimalkan kantong kemiskinan, yang fokus pada peningkatan aksesibilitas infrastruktur dasar dan konektivitas antar wilayah. Program-program ini meliputi pembangunan dan perbaikan infrastruktur seperti jalan, listrik, air bersih, dan sarana transportasi yang dapat menghubungkan daerah-daerah terpencil dengan pusat-pusat ekonomi. Dengan adanya infrastruktur yang lebih baik, masyarakat miskin diharapkan dapat lebih mudah mengakses peluang ekonomi dan sosial, yang pada gilirannya dapat mengurangi tingkat kemiskinan di daerah tersebut.

Tantangan Regional dan Upaya Kolaboratif

Bimtek daring ini juga membahas berbagai tantangan spesifik yang dihadapi oleh daerah dalam upaya pengentasan kemiskinan dengan fokus pada faktor-faktor yang mempengaruhi ketepatan pengkategorian masyarakat. Salah satu tantangan yang muncul adalah bagaimana pengaruh faktor budaya dan ekonomi lokal dapat berperan dalam tingkat kemiskinan suatu daerah. Di beberapa wilayah, perbedaan karakteristik sosial dan budaya berpotensi menyebabkan adanya ketidaktepatan dalam pengklasifikasian masyarakat ke dalam kategori tertentu. 

Sebagai contoh, di Kabupaten Trenggalek, kebijakan lokal yang lebih sensitif terhadap budaya dan kondisi masyarakat setempat ternyata berhasil membantu mengurangi angka kemiskinan. Pendekatan ini memprioritaskan pemberdayaan masyarakat melalui pemahaman terhadap nilai-nilai lokal yang lebih relevan dengan kebutuhan mereka. Di sisi lain, Kabupaten Bangka Tengah menghadapi tantangan dalam memperoleh data yang mutakhir dan akurat. Pemerintah setempat kesulitan mengakses informasi yang dapat menggambarkan perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi dalam masyarakat, termasuk data sektoral dari masing-masing OPD. Untuk itu, diperlukan upaya untuk memadupadankan berbagai sumber data dari OPD agar bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang kondisi kemiskinan yang terjadi di daerah tersebut. 

Sementara itu, di Kabupaten Sigi, tantangan lain yang muncul adalah kesulitan dalam mengkategorikan masyarakat ke dalam kelompok desil yang mencerminkan tingkat kemiskinan mereka. Hal ini terkait dengan ketidaksesuaian variabel yang ada dalam data Penyasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE), yang belum sepenuhnya menggambarkan keadaan sebenarnya. Dalam hal ini, pemerintah kabupaten perlu memperhatikan variabel-variabel lain yang mungkin lebih menggambarkan kondisi riil di lapangan agar kebijakan yang diambil bisa lebih tepat sasaran.

 

Materi interaktif yang bisa diakses kapan saja dan di mana saja.

 

 

Strategi dan Implementasi Kebijakan

Penanggulangan kemiskinan di Indonesia merupakan amanat konstitusi yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, dengan tujuan mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial. Penyusunan dokumen RPKD juga diatur dalam Permendagri No. 53 tahun 2020, yang menegaskan pentingnya pengentasan kemiskinan sebagai prioritas utama. Hal ini sejalan dengan target Sustainable Development Goals (SDGs), di mana penghapusan kemiskinan menjadi pilar utama dalam pembangunan berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut, kebijakan penanggulangan kemiskinan yang efektif memerlukan kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, dunia usaha, dan masyarakat, dengan fokus pada bantuan sosial, pemberdayaan ekonomi, serta kebijakan yang strategis. Dokumen RPKD menjadi instrumen penting untuk memastikan strategi penanggulangan kemiskinan terintegrasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025 – 2029.

Bimbingan teknis (bimtek) yang diselenggarakan oleh Traction Energy Asia bersama Apkasi menjadi wadah penting untuk memperkuat kapasitas pemerintah daerah dalam menyusun RPKD yang berbasis data dan responsif terhadap kondisi lokal. Dalam kegiatan ini, pengumpulan data yang terperinci dan penggunaan indikator kemiskinan yang relevan ditekankan sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan di daerah. Selain itu, perhatian khusus diberikan pada pemahaman tentang desil-desil kemiskinan untuk menentukan skema intervensi yang tepat, mulai dari pengurangan beban pengeluaran, peningkatan pendapatan, hingga pembangunan infrastruktur dasar yang dapat menghubungkan masyarakat miskin dengan peluang ekonomi.

Kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah, penguatan kelembagaan seperti TKPK, serta keterlibatan aktif berbagai pihak, termasuk sektor swasta dan masyarakat, menjadi kunci utama dalam mencapai tujuan pengentasan kemiskinan secara berkelanjutan. Sebagaimana disarankan oleh para narasumber, strategi penanggulangan kemiskinan yang berbasis pada pemetaan data dan keterlibatan semua pihak akan meningkatkan efektivitas program dan kebijakan. Dengan adanya upaya bersama, pengentasan kemiskinan di Indonesia diharapkan dapat tercapai secara menyeluruh untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif.