Keuntungan Pelibatan Pekebun Sawit Mandiri demi Ekonomi dan Lingkungan

Traction Energy Asia Menyambut Hari Tani Nasional serta Minggu Rendah Emisi dengan Mendukung Pelibatan Pekebun Sawit Mandiri dalam Rantai Pasok Biodiesel Nasional

UNTUK DISIARKAN SEGERA

Jakarta, 23 September 2021 — Menyambut Hari Tani Nasional yang dilaksanakan setiap 24 September, Traction Energy Asia mengadakan talkshow bertajuk “Pekebun Sawit Mandiri Kunci Biodiesel Lestari” secara daring pada 23 September 2021. Peneliti Traction Energy Asia mempresentasikan kertas kerja terbaru berjudul “Analisis Biaya-Manfaat Penempatan Pekebun Mandiri dalam Tata Niaga Biodiesel Nasional” yang membandingkan besaran nilai biaya program kebijakan memasukkan pekebun sawit mandiri ke dalam tata niaga biodiesel dengan potensi nilai manfaat yang akan diperoleh.

Penanggap hasil temuan tersebut adalah Andriah Feby Misna (Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral), Dedi (Sub. Koordinator Penerapan Teknologi dan Pemberdayaan, Kementerian Pertanian), serta Rukaiyah Rafik (Kepala Sekolah Petani Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia—FORTASBI).

Diskusi ini menutup rangkaian acara Pekan Rendah Emisi yang Traction Energy Asia usung bersama Yayasan Madani Berkelanjutan, Koaksi, dan Sawit Watch. Rangkaian acara yang berlangsung sejak 21-23 September ini memperingati Hari Perlindungan Lapisan Ozon sedunia (16 September), Hari Emisi Nol Sedunia (21 September), Hari Bebas Kendaraan Bermotor (22 September), serta Hari Tani.

Dalam diskusi ini, Peneliti Taufik Radhianshah serta Manajer Kolaborasi Eksternal Ricky Amukti—keduanya dari Traction Energy Asia—memaparkan argumen yang mendukung kebijakan untuk menempatkan pekebun sawit mandiri dalam rantai pasok biodiesel nasional. Dari setiap biaya yang keluar dari kebijakan ini, ada 2,13 manfaat yang diperoleh, membuat kebijakan ini layak dilakukan. Beberapa manfaatnya adalah peningkatan kesejahteraan pekebun sawit mandiri serta penurunan emisi karbon. Alasannya, kebijakan ini berfokus pada intensifikasi lahan pekebun sawit mandiri, mencegah pembukaan lahan sawit baru akibat peningkatan permintaan akan crude palm oil (CPO) sebagai bahan baku untuk memenuhi program mandatori biodiesel oleh pemerintah.

Program mandatori biodiesel sendiri adalah salah satu dari sekian kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca paling tidak sebesar 29% di tahun 2030. Program ini secara bertahap mewajibkan penggunaan minyak kelapa sawit ke dalam bauran bahan bakar nabati jenis biodiesel untuk mengurangi ketergantungan akan bahan bakar fosil.

Pada kenyataannya, volume emisi yang muncul dari penanaman sawit sendiri juga perlu diperhitungkan, misalnya dari alih fungsi lahan, jenis dan jumlah pemakaian pupuk, proses distribusi tandan buah segar kelapa sawit ke pabrik kelapa sawit, hingga pengelolaan limbah cair sawit yang menghasilkan gas metana. Sebelumnya, kajian analisis daur hidup (LCA) Traction Energy Asia menemukan bahwa emisi gas rumah kaca dari perkebunan dan pabrik kelapa sawit sendiri berkontribusi sebesar 83-95% ke emisi gas rumah kaca produksi biodiesel.

“Jika pemerintah serius ingin menurunkan emisi gas rumah kaca, salah satu solusi yang harus diambil adalah melibatkan pekebun sawit mandiri di dalam rantai pasok kebijakan biodieselnya,” pungkas Ricky Amukti. “Produktivitas pekebun sawit mandiri sendiri rendah dibandingkan dengan perusahaan, yakni hanya separuh dari produktivitas perusahaan sawit. Untuk memenuhi kebutuhan yang sama, pekebun sawit mandiri memerlukan lahan dua kali lipat lahan perusahaan yang justru akan menambah emisi. Maka, perlu ada komitmen serius untuk melakukan intensifikasi lahan pekebun mandiri. Tanpa adanya pengakuan dan pelibatan resmi mereka di rantai pasok, ini sulit dilakukan.”

Untuk menjawab isu ini, Andriah Feby Misna mewakili Kementerian ESDM menyampaikan upaya yang sedang dilakukan oleh Kementerian ESDM untuk mencapai biodiesel berkelanjutan. “Komitmen kami dalam memastikan biodiesel yang berkelanjutan adalah dengan menyiapkan indikator keberlanjutan untuk industri biodiesel, di mana aspek ketertelusuran dan transparansi masuk di dalamnya. Indikator-indikator ini sedang dikaji. Kementerian ESDM siap mendorong program biodiesel menerapkan indikator keberlanjutan ini.”

Analisis biaya-manfaat ini juga memperhitungkan emisi gas rumah kaca, deforestasi, dan potensi bencana lingkungan. Berdasarkan simulasi dan analisis biaya-manfaat, pelibatan pekebun sawit mandiri dalam rantai pasok biodiesel nasional mampu menghemat anggaran mitigasi bencana lingkungan di Provinsi Riau dan Kalimantan Barat serta program penurunan gas rumah kaca di Provinsi Riau hingga sekitar 141 miliar rupiah.

Sementara itu, saat ini, belum ada data spesifik mengenai jumlah pekebun sawit mandiri, tingkat produksi kelapa sawit, dan kontribusinya dalam pasokan bahan baku biodiesel. Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 2018-2020 dari Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa 41% lahan sawit di Indonesia adalah perkebunan rakyat, di mana pekebun plasma (pekebun yang dikontrak oleh perusahaan sawit) dan pekebun mandiri masuk di dalamnya. Meski sejumlah informasi tentang pekebun mandiri belum diketahui, mereka memiliki profil yang mirip: memiliki luas lahan sawit maksimal lima hektare serta tingkat produktivitas sawitnya hanya sekitar satu ton per hektare. Mereka juga cenderung berada di kelas ekonomi bawah serta merupakan keluarga penerima manfaat jaminan sosial.

Mewakili Kementerian Pertanian, Dedi menyampaikan bahwa peningkatan kesejahteraan para pekebun mandiri merupakan upaya bersama. “Untuk menjamin harga tandan buah segar yang diterima petani lebih layak, memang pekebun sawit perlu bekerjasama dengan pabrik kelapa sawit. Untuk mendorong hal tersebut, hal ini tidak bisa dilakukan sendirian oleh pemerintah. Kami juga perlu dukungan dan kerjasama dari pemangku kepentingan terkait, termasuk asosiasi-asosiasi petani.”

Hasil analisis biaya-manfaat sendiri memperhitungkan bahwa dari sudut pandang kesejahteraan pekebun sawit mandiri sendiri, kebijakan ini berpotensi meningkatkan pendapatan mereka dari hasil peningkatan produktivitas sawit dan mengeluarkan mereka dari kategori keluarga penerima manfaat jaminan sosial. Bagi pemerintah, ini artinya menghemat sekitar 61,4 miliar rupiah anggaran jaminan sosial dan nilai tambah sebesar 144 miliar rupiah dari perdagangan tandan buah segar yang lebih berkelanjutan sesuai dengan standar Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).

Tentang Traction Energy Asia

Traction Energy Asia (TEA) adalah lembaga penelitian independen yang terdiri dari kumpulan para ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan yang berbasis di Indonesia dengan fokus seluruh wilayah Asia. Kami mengadvokasi, mempromosikan, dan memberikan solusi inovatif untuk pemerintah, komunitas bisnis, serta masyarakat secara keseluruhan untuk menyelaraskan kepentingan mereka dengan mengatasi perubahan iklim. Kinerja kami berfokus pada penelitian terkait bioenergi dan investasi serta mendukung pemerintah dalam mengimplementasikan pembangunan daerah yang rendah karbon.

Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi situs serta akun Facebook, Instagram, Twitter, dan Youtube kami.

Kontak:
Ricky Amukti
Manajer Kolaborasi Eksternal Traction Energy Asia
[email protected]
087781893015